IP

Entri Populer

19 November, 2008

Mengenal Kedudukan Puncak Kewaliyan As-Syech Abdul Qadir Al Jailani & Sayyidina Al-Ustadz Al-Azham Al Faqih Muqaddam Ra


Dengan memanjatkan Puji Syukur kehadirat Ilahi Rabbi Allah Rabbil ‘Aalamiin, Penguasa Tunggal, Raja langit dan bumi, Maha mengawasi dan Maha memberi balasan. Maha Agung dan Maha Luhur. Tempat bergantung segala makhluq-Nya. Qudrat dan Iradat-Nya meliputi serta menjangkau segala sesuatu pada seluruh ‘lam ciptaan-Nya. Dengan sifat Rahman dan Rahiim-Nya itu, maka jangkauan kelembutan kasih sayang kepada hamba2-Nya mendahului murka-Nya. Salam dan Shalawat teruntai se-indah2nya Shalawat dihaturkan keharibaan junjungan dan penghulu sekalian umat manusia. Sayyidil ahlil ardhi was samawat. Sayyidil Al- Anbiya’i wal Mursaliin, wa afdalul Habaib, Sayyidina wa Maulana Muhammadin wa ‘ala alihi was shahbihi ajma’in. – Amma ba’du.

Topik ini sengaja ditulis sebagai sebuah upaya mengenalkan kedua tokoh Waliyullah sebagaimana tertulis pada judul tulisan diatas, dengan maksud agar kita lebih mengenali keduanya diantara sekian banyak para Wali Allah yang tersebar dimuka bumi dari zaman ke zaman. Tulisan ini ini sama sekali bukan hendak membanding-bandingkan mereka. Masing2 mereka mempunyai keunggulan di zamannya. Kehadiran mereka serta yang lainnya, adalah sebuah karunia besar dari Allah Jallajalaluh. Mereka semuanya adalah pelita yang menerangi bumi sepeninggal Rasulullah Saw. Kita yang hidup pada zaman ini adalah orang2 yang patut bersyukur ke hadirat Allah kerena manfaat dari mereka yang datang sambung menyambung dari generasi demi generasi. Kita berhutang budi kepada mereka, karena sekalipun kita tidak meneguk langsung sejuknya air dan madu manisnya ilmu pengetahuan agama dari lisan mereka. Tetapi sebenarnya kita belajar agama dari ilmu2 mereka melalui murid2 mereka baik dari keturunan mereka sendiri maupun dari murid2nya yang lain yang menjadi ‘ulama2 besar dari zaman ke zaman. Nama besar kedua tokoh bahasan kita ini kami susun menurut tahun kelahiran mereka.


Kami sangat sadar akan keterbatasan pengetahuan yang ada pada diri kami untuk membicarakan kedua tokoh puncak ini. Semulanya kami sangat takut membicarakan mereka secara terbuka. Kalaupun sekarang kami turunkan tulisan ini, semata-mata ingin membagi pengetahuan tentang kedua tokoh kita yang mulia ini, karena masih terdapat sebahagian orang yang ingin tahu lebih jauh akan Nasab & Kedudukan Puncak Kewalian mereka pada zamannya masing-masing. Kepada (arwah) kedua tokoh mulia ini kami memohon ampun maaf apabila dalam tulisan kami terdapat banyak kekurangan atau bahkan kesalahan. Hal ini mungkin saja terjadi dikarenakan kebodohan dan kemiskinan ilmu pengetahuan kami. Dan kepada mereka yang lebih tahu tentang kedua tokoh mulia ini, atau memiliki dokumen sejarah yang lebih kuat dapat memperbaikinya. Tulisan ini sendiri di ambil dari sumber bacaan yang terbatas. Namun paling tidak diharapkan agar setiap orang yang berbicara tentang tokoh mulia ini atau wali yang lainnya agar menahan diri serta lisan dari kemungkinanan ucapan salah atau keliru ketika membicarakan hal ikhwal mereka, apalagi bagi kita yang tidak hidup sezaman dengan mereka, bahkan mereka telah mendahului kita berabad-abad lamanya.


AS-SYECH ABADUL QADIR AL-JAILANI

Kelahiran dan Nasabnya :

Sayyid Abu Muhammad Abdul Qadir dilahirkan di Naif, Jailani – Irak pada bulan Ramadhan tahun 470 H, bertepatan dengan tahun 1077 M. Ayahnya disebut Abu Shalih. Seorang yang taqwa, keturunan Hadhrat Imam Hasan ra, cucu pertama Raulullah Saw, putera sulung Imam Ali ra. Dan Fathimah ra, puteri tercinta Rasulullah Saw. Ibu beliau adalah puteri seorang Wali Abadullah Saumai, yang juga masih keturunan Imam Husain ra. Putera kedua Imam Ali dan Fathimah, dengan demikian, Sayyid Abdul Qadir adalah Hasani, sekaligus Husaini. - Dari kitab {Futuh Al-Gaib } Selengkapnya : Sayyid Abdul Qadir Al Jailani, bin Musa (Abu Shalih), bin Muhammad, bin Abdullah, bin Yahya Az Zahid, bin Muhammad, bin Daud, bin Musa, bin Abdullah, bin Musa, bin Aljun, bin Abdullah Al Muhdar,bin Alhasan Al Matsna, bin bin Al Hasan As Sibti, bin ‘Ali Karamallahu Wajhah. Dari {Kitab Manaqib).

Sayyid Abdul Qadir , bersifat pendiam, 'nerimo' dan gemar bertafakkur sejak kecil.

Sering berbuat kebaikan yang mengarahkan dirinya kepada pengalaman-pengalaman mistik. Pada usia 18 tahun beliau mulai terlihat kehausan akan ilmu agama, dan kegairahannya untuk selalu dekat kepada para shalihin yang akhirnya membawanya merantau mencari ilmu ke Baghdad. Yang dikala itu memang merupakan pusat ilmu pengetahuan dan peradaban.


Dikemudian hari ia digelar Gauts Al-‘Azham, atau Wali gauts terbesar. Dalam terminology sufi, seorang gauts menduduki jenjang rohaniyah dan keistimewaan kedua dalam memohon ampunan dan ridha Allah bagi umat manusia setelah Nabi Saw. Para ‘ulama besar masa kini menggolongkan beliau sebagai shiddiqin, sebagaimana sebutan Al-Qur’an bagi orang semacam itu. Para ’ulama mendasarkan pandangannya pada peristiwa yang terjadi pada permulaan perjalanan Sayyid Abdul Qadir ke Baghdad. Diriwayatkan bahwa menjelang keberangkatannya ke Baghdad, ibunya yang telah menjanda membekalinya dengan delapan puluh kepingan emas yang dijahitkan pada bagian dalam mantel persis dibawah ketiaknya sebagai bekal. Uang ini adalah warisan ayahnya yang dimaksudkan untuk menghadapi masa-masa sulit. Dikala hendak berangkat sang ibu berpesan agar jangan berdusta dalam segala keadaan. Sang anak pun berjanji didepan ibunda nya untuk senantiasa menjaga pesan tersebut. Sahadan, ketika kereta yang ditumpanginya sampai di satu tempat yang bernama Hamadan, kafilah mereka dihadang oleh segerombolan perampok. Dalam aksi penjarahan itu, para perampok sama sekali tidak memperdulikannya, karena beliau terlihat sederhana lagi miskin. Salah seorang anggota perampok yang melewatinya bertanya kepadanya apakah ia mempunyai uang. Ingat akan janji kepada ibundanya sebelum berangkat, Abdul Qadir kecil ini segera menjawab “Ya, aku mempunyai delapan puluh keping emas yang dijahit didalam baju oleh ibuku”. Tentu saja hal ini menjadikan para perampok itu terperanjat dan keheranan. Heran karena ada manusia sejujur ini. Mereka membawanya kehadapan pimpinan mereka lalu menanyainya, maka beliau pun memberi jawaban yang sama seperti tadi. Begitu jahitan baju Abdul Qadir dibuka, maka mereka pun mendapati delapan puluh keping emas itu. Pemimpin perampok itu terhenyak kagum. Abdul Qadir lalu mengisahakan segala yang terjadi antara beliau dengan ibundanya ketika akan berangkat dari rumahnya, bahkan ibunya berkata apabila ia berbohong maka akan tidak berguna ia menimba ilmu agama. Mendengar ini, maka menangislah sang kepala perampok tersungkur di kaki Abdul Qadir, menyesali segala dosa yang pernah dilakukan.


Kepala perampok inilah murid pertama dalam pengembaraannya. Peristiwa ini merupakan sebuah proses Illahiyah yang mengantarkannya menjadi Shiddiq. Andaikata ia tidak benar, maka keberanian kukuh semacam itu demi kebenaran, dalam saat-saat kritis, tak mungkin baginya.

Selama belajar di Baghdad, ia terkenal jujur dan murah hati serta tabah menghadapi penderitaan. Dengan bakat keshalehannya ia dengan mudah cepat menguasai semua cabang ilmu pada masa itu. Ini terbukti ketika dirinya berhasil menjadi ahli hukum terbesar dimasanya. Namun kerinduaan rohaniyahnya yang lebih dalam membuatnya gelisah, ingin mewujudkan diri lebih dari itu. Bahkan dimasa mudanya ia hanya gemar belajar dan tenggelam dalam belajar, ia gemar mujahadah (menyaksikan langsung kekuasaan dan keadilan Allah melahi mata hati) Ia sering berpuasa, tidak mau meminta dari seseorang, meski dalam bepergiaan berhari-hari tanpa makanan. Ia gemar berkumpul dengan orang-orang yang berfikir secara ruhani. Dalam masa pencarian inilah beliau bertemu dengan seorang wali besar masa itu yang dhahirnya adalah penjual sirup yang mernama Syech Hadhrat Hammad. Lambat laun wali inilah yang membimbing Abdul Qadir dengan sangat ketat, disiplin dan keras. Sekalipun diperlakukan sedemikian keras, tapi Abdul Qadir sang sufi muda yang baru tumbuh ini, menerima semuanya dengan gembira dan merasa sebagai koreksi atas kecacatan ruhaninya. ( calon ghauts ini merasa ruhaninya cacat - Subhannallah).


Latihan Ruhaniyah, Setelah melalui fase pendidikan/belajar berbagai disiplin ilmu agama. Ia kian keras terhadap dirinya sendiri, ia mulai memantangkan diri terhadap segala kesenangan hidup. Kecuali untuk mempertahankan hidup. Seluruh waktu dan tenaganya tercurahkan hanya untuk Shalat dan membaca Al-Qur’an. Shalat yang menyita waktunya itulah, maka beliau selama hidupnya lebih banyak shalat subuh dengan wudhu’ waktu isya’a. Diriwayatkan bahwa sang Syech sering menamatkan bacaan Al-Qur’an pada setiap malamnya.. Selama latihan ruhaniyah ini beliau menghindari berhubungan dengan manusia, sehingga ia tidak bertemu atau bicara dengan seorangpun. Apabila ingin berjalan-jalan, maka ia berjalan berkeliling padang pasir. Setelah 11 (sebelas) tahun sang Syech menutup diri dari dunia luar. akhir masa ini menandai berakhir latihan (riyadah) dirinya. Pada tahap ini Syech Abdul Qadir Al- Jailani menerima “NUR” yang dicarinya. Diri hewaninya kini digantikan oleh wujud mulia karunia Allah Swt.


Diuji Iblis. Diriwayat oleh banyak tokoh-tokoh keagamaan dalam sejarah perihal pengalaman puncak spiritual yang dialami oleh Syech Abdul Qadir seusai masa riyadahnya / uzlahnya berakhir, Pertama :

“Pada suatu hari Iblis menghadap kepada Syech Abdul Qadir, dan memperkenalkan diri sebagai Jibril yang diutus Allah. Sambil berkata bahwa ia membaca Buraq dari Allah yang mengundangnya untuk menghadap Allah dilangit tertinggi. Sang Syech spontan menjawab bahwa si pembicara tidak lain adalah Iblis karena Jibril atau Buraq tidak akan pernah datang kedunia selain kepada Sayyidina Muhammad Saw. Setan toh masih punya cara lain. Katanya baiklah Abdul Qadir engkau telah menyelamatkan dirimu dengan keluasan ilmumu. Enyalah! bentak sang wali, Jangan kau ganggu aku, bukan karena ilmuku tapi karena Rahmat Allah aku selamat dari perangkapmu”


Kedua : “Ketika Syech berada dihutan belantara tanpa makanan dan minuman dalam waktu yang lama. Tiba-tiba awan menggumpal diudara dan turunlah hujan. Sang Syech melepaskan dahaga dengan air hujan itu, Tiba-tiba muncul cahaya terang dicakrawala sambil berseru Akulah Tuhan-Mu, kini Aku halalkan bagimu Segala yang haram. Sang Syech menjawab aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Tiba-tiba cahaya terang tadi berubah menjadi awan. Terdengar suara berkata “dengan ilmumu dan Rahmat Allah engkau selamat dari tipuanku”. Lalu ia bertanya tentang kesigapan sang Syech dapat mengenalinya. Sang Syech menjawab perkataan menghalalkan yang haramlah yang membuatnya tahu. Sebab pernyataan seperti itu sudalah pasti bukan dari Allah Swt. Dalam bagian lain digambarkan bagaimana sang Syech dalam perjuangannya melawan kebanggaan akan ilmu. Atau perjuangannya melawan kesulitan ekonomi yang menghalangi seseorang dalam perjalanan ruhaniyahnya.


Ketika Abdul Qadir akan tampil ditengah masyarakat untuk memberi bimbingan, sebelum itu beliau mempunyai sebuah mimpi yang di kemudian hari merupakan bukti dan sesuai dengan hasil da’wah dan bimbingan sang Syech kepada umat manusia dizamannya. Kisahnya “ Beliau melihat didalam mimpinya seolah-olah sedang menelusuri sebuah jalan dikota Baghdad. Didapatinya seseorang yang kurus kering sedang berbaring disisi jalan menayalaminya.

Ketika sang Syech menjawab salamnya, orang itu memintanya untuk membantunya duduk. Begitu beliau membantunya, orang itu duduk dengan tegap, dan secara menakjubkan tubuhnya menjadi besar. Melihat sang Syech terperanjat, orang itupun menentramkannya, dengan kata-kata “ Akulah agama kakekmu (Sayyidina Muhammad Saw), yang menjadi sakit dan sengsara, tetapi Allah menyehatkanku kembali melalui bentuanmu” Singkatnya dalam penempilan / kehadirannya didepan umum, dan dari hasil pencerahannya kepada umat Islam secara luas, maka masyarakat kemudian menamainya Muhyiddin {pembangkit keimanan} gelar yang kemudian di sandang sebagai bagian namanya yang termasyhur. Beliau adalah seorang yang dermawan, setiap berbuka puasa menjelang maqrib para tetangga dan orang-orang miskin diajak makan bersama, sedang beliau sendiri saat itu adalah saatnya berbuka puasa, karena beliau berpuasa sepanjang tahun.


Kehidupan Rumah Tangga, Beliau baru menikah pada tahun 521 H, pada usia 51 tahun, karena sebelumnya beliau menganggap perkawinan merupakan hambatan terhadap upaya penjernihan ruhaniyah. Akhirnya beliau menjalankan Sunnah Rasulullah Saw dan menikah pada usia tersebut diatas. Dari pernikahnnya ini beliau di karuniai 49 anak, terdiri dari 20 orang anak laki-laki dan selebihnya wanita, dari 4 (empat) orang istri. Ada 4 (empat orang putera yang sangat menonjol di dalam ilmu agama dan sebagai khalifah.


Beliau adalah :


(1) Sech Abdul Wahab bin Abdul Qadir, putera tertua. Adalah seorang alim besar pada zamannya. Beliaulah yang mengelola madrasah ayahnya sejak tahun 543 H. Sesudah sang Wali wafat, ia juga banyak menyumbangkan pikirannya dalam masalah-masalah syariat islam.


(2) Syech Isa bin Abdul Qadir, adalah seorang ‘ulama dan guru hadits, dan seorang hakim besar dizamannya. Dikenal juga sebagai penyair dan sebagai sufi. Ia mukim di mesir hingga akhir hayatnya.


(3) Syech Abdur Razaq Bin Abdul Qadir, beliau seorang ahli, penghafal hadits. Sebagaimana ayahnya ia terkenal taqwa. Ia mewarisi beberapa kecenderungan spiritual ayahnya, dan sedemikian masyhurnya di Baghdad sebagimana ayahnya.


(4) Syech Musa Bin Abdul Qadir, beliau juga seorang alim besar pada zamannya. Beliau hijrah ke Damaskus hingga wafat disana.


Kewafatannya, Syech Abdul Qadir Al Jaelani, sang wali yang telah dibuka Allah baginya rahasia alam Malakut dan Jabarut, wafat pada 11 Rabi’ul Akhir tahun 561 H (1166 M) pada usia 91 tahun. Hari wafat (Haul) beliau diperingati seluruh umat islam di dunia oleh pencinta serta pengikut Thariqah Qadiriyyah, setiap tahun. Beliau seorang wali qutb yang sangat cemerlang di zamannya dan dikenal luas oleh para mutasawwufin diseluruh penjuru dunia islam. Didalam dunia thariqah dan tasawuf, nama beliau dikenal dengan gelar didepan namanya : Al Ghauts Al ‘Azham Al Qutbur Rabbaniy Syech Muhyiddin, Sulthanil Auliya, Al Qauts, Al Imam, Syech Abdul Qadir Al Jaelani ra. Tidak terbilang banyaknya murid-murid sebagai anak didik yang lahir dari halaqah dan madrasahnya menjadi wali-wali dan ‘ulama-‘ulama besar dizaman mereka masing-masing. Ilmu yang ditinggalkan adalah warisan abadi yang hidup dan diamalkan oleh diseluruh umat Islam di dunia yang mengikuti thariqah dan ilmu tasawuf yang dibangun dan diajarkan beliau kepada manusia terus menerus, sambung menyambung. Banyak orang yang bertawassul kepadanya melalui amalan manaqibnya yang sangat terkenal itu, karena didalam tawassul itu yang dikedepankannya adalah dengan tawassul al akbar Sayyidina Muhammad Saw sebagai pembuka jalan. Begitulah pada umumnya para wali dan syech mengajari manusia.


Setelah Syech Abdul Qadir wafat, maka putera-putera serta murid-muridnya mendirikan sebuah thariqah untuk menyuburkan spiritualitas islami dan ajaran-ajaran islami dikalangan umat islam di dunia, yang dikenal dengan nama Thariqah Qadiriyyah, yang hidup berkembang di seluruh penjuru dunia hingga saat ini. Thariqah ini diakui telah sedemikian berjasa bagi kebangkitan kembali dunia Islam, dan sumbangannya pada Tasawuf yang tidak terkira. Tiga di antara catatan-catatan nasihat dan pengajarannya mencapai reputasi dunia. Yang paling luar biasa adalah FUTUH Al - GHAIB. Yang intinya adalah mutiara pelajaran berharga tentang bagaimana manusia mendidik hati, mengendalikan nafsu. Terapi uzlah dan riyadah dari yang ringan sampai yang berat. Makna dzikir, berbuat kebaikan, membangun hubungan dengan Allah, menjauhi yang diharamkan Allah., Menjalankan sunnah Rasul Saw serta mahabbah, cinta ‘ulama, menjaga hubungan dengan manusia serta makhluk lain dan ‘alam semesta.

Bahkan dalam memilih sahabat, dan lain sebagainya dalam upaya meraih keridhaan Ilahi untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat. Kini sang Wali telah wafat hampir sembilan abad yang lalu. Namun ia hidup bagai pelita yang tidak pernah padam dalam hati umat islam.


Semoga tulisan ringkas penuh kekurangan mengenai sang wali ini mampu mengubah pikiran dan pandangan sebagian orang tentang Nasabnya, perjuangannya, ajaran tauhid dan thariqahnya, sampai pada kedudukan kewaliyannya. Hendaknya kita sadar bahwa yang memperoleh maqam (martabat kewaliyan) seseorang bukan atas kehendaknya sendiri, tetapi disana ada kehendak Yang Maha Tinggi yang membimbing-Nya jua, sehingga mereka sejak kecil telah menunjukkan sifat, bakat serta kemampuan diri mereka masing-masing. Mereka (para Waliyullah) berperilaku sangat jauh berbeda dengan manusia lainnya sejak dini. Pada umumnya para waliyullah (wali Allah) mempunyai kecenderungan Ilahiyah yang sangat jauh berbeda dengan kebanyakan manusia. Mereka adalah manusia-manusia pilihan Allah dan berada dibawah kedudukan para Nabi & Rasul Saw. Allah jualah yang menentukan kadar kemuliaan sifat, kejeniusan, kekuatan menyerap ilmu Allah, ketundukannya dihadapan Allah, dermawan, kuat beribadah, uzlah dan riyadah serta seluruh sifat mulia mereka sedemikian rupa sehingga menakjubkan seluruh makhluk penghuni langit dan bumi. Mereka, sebagaimana para Nabi & Rasul memiliki tuah atau ijjah (baraqah) dibawah derajad para Nabi & Rasul itu. Oleh karenanya segala perlakuan kita yang dinilai buruk oleh Allah, baik sikap, kata-kata, bahkan prasangka buruk yang tersimpan didalam hati sekalipun, akan dibalas Allah dengan kadar balasan yang hanya Dia (Allah) yang Maha Mengetahui, dan Maha berkehendak membalasnya, demikian pula sebaliknya. Wallahu ‘alam bissawab.


=== /// ===



SAYYIDINA AL-USTADZ AL-AZHAM

AL FAQIH MUQADDAM, MUHAMMAD BIN ‘ALI BA’ALAWI R,A


Kelahiran, Wafat dan Nasabnya :

Sayyidina Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin Ali ra, dilahirkan 574 H, 1176 M, disebuah kota kecil di Tarim Yaman Selatan, yang dipenuhi keberkahan oleh Allah Swt. Makmur, serta dipenuhi oleh para wali, ‘ulama-‘ulama besar serta orang-orang shalihin Hadhramaut Yaman Selatan. Beliau yang mulia wafat pada malam Jum’at dibulan Dzulhijjah, tahun 653 H, atau dimalam Ahad akhir bulan Dzulhijjah tahun 653 H, 1255 M, dalam usia 79 tahun. Dimakamkan di “Zambal”. Beliau lahir dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan kaum shalihin. Sayyidina Al Faqih Al Muqaddam adalah keturunan Rasulullah Saw dari Al Imam Sayyidina Husain ra. Tidak ada keraguan sedikitpun tentang keabsahan Nasab beliau, karena telah diakui oleh para ahli Nasab. Bahkan lebih dari itu, dimana beliau tidak saja merupakan penghubung dalam garis keturunannya keatas dan kebawah (silsilah nasabiyah). Tetapi merupakan mata rantai emas yang kokoh dalam silsilahtul ‘ilmiyah pada Thariqah Bani Alawi. Dilihat dan diukur dari sumber ilmu yang diterima dari ayahnya, dari ayahnya lagi demikian seterusnya hingga bertemu kepada asal dan sumber ilmu yang murni, bening, terpelihara dari segala bentuk kekurangan, yakni Sayyidina Muhammad Rasulullah Saw, dari Jibril as dan dari Allah Swt. yang tergambar dari susunan Nasab sang Imam yang mulia : Sayyidina Al Imam Al Faqih Al Muqaddam Muhammad, bi Ali, bin Muhammad Sahib Marbath, bin Ali Khali Qasam, bin Alwi, bin Muhammad, bin Alwi, bin Ubaidillah, bin Imam Al Muhajir Ilallah Ahmad, bin Isa, bin Muhammad An Naqib, bin Ali Uraidhi, bin Al Imam Ja’far As Shadiq, bin Al Imam Muhammad Al Baqir, bin Al Imam Ali Zainal Abidin, bin Al Imam Husain As Sibti, bin Al Imam Ali Karamallahu Wajhah.


Seluruh nama-nama yang tersambung dalam Nasab Sayyid Al Faqih Al Muddam ra, dari ayahnya sampai kepada Al Imam Sayyidina Husain bin Ali ra, seluruhnya adalah Imam dan Wali Allah, serta ‘ulama-‘ulama terbesar pada zamannya masing-masing. Dengan keberadaan mereka, umat manusia mereguk manisnya air keimanan, ketaqwaan, sehingga memperoleh hidayah Allah Swt.


Dengan lain perkataan, bahwa tidak seorang wali atau ‘ulama pun di muka bumi yang tidak memperoleh ‘ilmu agama melalui mereka. Ini dapat dibuktikan bahwa para wali dan ‘ulama pasti memiliki silsilahtul ‘ilmiyah (silsilah – sanat guru) yang jelas, sehingga tiadalah ‘ilmu itu diperolehnya melainkan akan bertemu, dan diambil ilmu itu dari pintunya (Al Imam ‘Ali Kw) melalui salah satu diantara mereka sambung-menyambung hingga sampai kepada Al Imam Ali bin Abu Thalib kepada Rasulullah Saw dari Jibril as, dari Allah Swt. Seperti inilah simpul emas Thariqah Bani ‘Alawi dari zaman ke zaman di seluruh permukaan bumi Allah, sampai kepada kita yang hidup dizaman ini.


Rumah tangga Sayyidina Faqih Muqaddam Muhammad bin Ali

Sayyidina Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin Ali ra menikah dengan seorang wanita Shalehah, sekaligus sepupunya dari pihak ayahnya, yang kemudian dikenal sebagai “Ummul Fuqara” (Ibunda kaum fakir miskin) bernama Syarifah Zainab binti Ahmad bin Muhammad Sahib Marbath r,anha., yang juga adalah seorang Waliyah”, dan memiliki pula banyak kekeramatan. Beliau kembali keharibaan Allah Swt pada 12 Syawal 669 H, atau lebih kurang 16 tahun sesudah wafat sang Imam suaminya Al Faqih Al Muqaddam ra. Hanya dari pernihan inilah Imam Al Faqih Al Muqaddam dikaruniai 5 (lima) orang anak, dan semuanya laki-laki. Di kemudian hari mereka semuanya menjadi ‘Ulama besar, bahkan sebahagian besar keturunannya menjadi penunjuk jalan keimanan kapada manusia. Mereka adalah Wali dan ‘Ulama-‘ulama terbesar rujukan umat manusia umumnya, dan khususnya umat Sayyidina Muhammad Saw dari abad keabad, zaman ke zaman. Mereka bukan saja sebagai pelita dikegelapan malam. Lebih dari itu, mereka laksana binntang-bintang, bulan dan matahari islam yang tidak pernah berhenti bersinar dan bercahaya sepanjang masa dan zaman sehingga datang kehendak dan taqdir Ilahi.


Mereka adalah para Syech Al Kabir : (1) Alwi Al Ghuyur, (2) Abdullah (‘Ubaidillah), (3) Abadurrahman, (4) ‘Ali dan (5) Ahmad. Mereka adalah generasi penerus ayahanda mereka Al Faqih Al Muqaddam ra, Dan di kemudian hari anak dan cucu mereka yang terbaik dari segi ‘ilmu dan akhlaq diwujudkan Allah Swt di permukaan bumi sebagai penerus datuk-datuk mereka, menunjuki umat manusia menuju jalan hidayah guna mencapai ampunan dan keridhaan Allah Swt.


Masa Pendidikan dan Para Gurunya Al Faqih Muqaddam.

Al Faqih Al Muqaddam menimba ‘ilmu dari para ‘ulama besar dan terkemuka dizamannya. Beliau terdidik dalam berbagai disiplin ‘ilmu pengetahuan seperti ‘ilmu Fiqih, Lughah, Tasawwuf serta berbagai cabang ‘ilmu lainnya langsung dari para ahlinya masing-masing antara lain :

Beliau menimba ‘ilmu Fiqih dari guru beliau,As Syech Abdullah bin Abdurrahman Ba’ubayd, meski begitu sang guru sangat memuliakan muridnya yang satu ini Al Faqih Al Muqaddam. Sang guru As Syech Abdullah Ba’ubayd tidak mau memulai pelajarannya sebelum Al Faqih A; Muqaddam dilihatnya telah hadir dalam majelis beliau. Bahkan beliau tidak mengajar tanpa kehadiran Al Faqih Al Maqaddam.Perilaku sang guru yang dipandang tidak lazim ini, mengundang banyak pertanyaan orang. As Syech Abdullah Ba’ubayd pun menjelaskan ; “Aku Sesungguhnya menunggu isyarat / izin untuk mengajar dari Allah Swt” Jawaban ini menunjukkan betapa mulia dan tingginya derajat Al Faqih Al Muqaddam, sekalipun beliau adalah seorang murid, sehingga guru beliau menunggu izin dari Allah seperti yang beliau katakan. Hal ini menunjukkan dengan tegas bahwa “mestilah” sang murid Al Faqih Al Muqaddam hadir, baru beliau dizinkan Allah untuk mulai mengajar.


Al Qadhy Ahmad Ba’isa

Guru beliau dalam bidang ‘ilmu Ushul serta beberapa cabang ‘ilmu lainnya kepada Al Imam As Syech’Ali bin Ahmad bin Salin Bamarwan.

Medalami pula ‘ilmu tafsir dan ‘ilmu hadits dari Al Imam Muhammad bin Abu Al Hub.

Beliau juga mendalami ‘ilmu Tasawwuf dan Hakekat dari Al Imam Salim bin Basri, dan dari Al Iman Muhammad bin ‘Ali Al Khatib.

Al Faqih Al Muqaddam juga mengambil ‘ilmu dari pamannya sendiri yakni As Syech Al Imam Al Habib ‘Alwi bin Muhammad Shahib Marbath.

Beliau juga mengambil ‘ilmu dari As Syech Sa’id Al Amudy

Semua guru-guru beliau mengisyaratkan dan mengakui bahwa Al Imam Al Faqih Al Muqaddam ra, telah mencapai maqam yang sangat luar biasa, sehingga menjadi kecillah maqam-maqam yang lainnya, bila dibandingkan dengan “MAQAM” yang telah dianugrahi Allah Swt kepada Al Imam Al Faqih Muqaddam ra. Pada masa beliau, ‘ilmu yang sedang berkembang di Tarim Hadhramaut adalah ‘Ilmu Fiqih, oleh karenanya para ‘Ulama disana adalah ahli Fiqih, sementara ‘ilmu tasawwuf pada masa itu, belum terlalu berkembang. Kelak dikemudian hari sang Imam Al Faqih Al Muqaddamlah yang menjadi pelopor, menghidupkan serta menjadi Imam yang pertama bagi kaum Mutasawwifin di Tarim Hadhramaut. Hal ini mengikuti sebagaimana yang ditegaskan oleh Al Imam Al Habib Abdullah bin ‘Alwi bin Hasan Al Attas.


Riwayat Al Khirqah, Sebagaimana diketahui bahwa Al Khirqah merupakan sebuah perlambang teramat penting dalam dunia tasawwuf. Yang bermakna sebagai pertanda pengalihan “Maqam”, dari seorang wali kepada wali pengganti, yang wujudnya adalah sepotong “kain sorban” para wali. Definisinya sendiri, bila kita mengikuti apa yang dimaksud oleh seorang tokoh Sufi sebelumnya yakni As Syech Muhyiddin Ibn Al Arabi dalam kitabnya Al Futuhat, beliau mengatakan Al Khirqah itu adalah lambang dari persahabatan para wali. Sebagai tambahan Ibn Arabi yang bergelar As Syech Muhyiddin Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Al Haitami. Bukan Ibn Al ‘Arabi, sekalipun keduanya berasal dari Negara Spanyol – Andalusia. Diriwayatkan bahwa ayah Ibn Arabi yang bernama ‘Ali lama tidak mempunyai anak, sampai pada suatu saat ia bertemu dengan seorang wali yaitu As Syech Muhyiddin Abdul Qadir Al Jaelani. Ia memohon doa dari Syech Abdul Qadir Al Jaelani kepada Allah agar kiranya dikaruniai seorang anak laki-laki. Sang Syech yang ketika itu sudah mendekati akhir hayatnya, memohon kepada Allah agar “Ali beroleh anak laki-laki- Kemudian beliau berpesan kepadanya agar anak itu kelak bila lahir supaya diberi nama Muhuyiddin Pembangkit Agama. Syech Abdul Qadir Al Jaelani juga menggambarkan bahwa anak ‘Ali yang akan lahir itu akan jadi orang besar dan Wali dalam ‘ilmu Ketuhanan, dialah Ibn Al Arabi , lahir pada tanggal 17 Ramadhan tahun 560 H, atau bertepatan dengan 29 Juli 1165, 3 tahun sebelum sang Syech yang mendo’akannya wafat. Dikemudian hari ia dikenal dengan nama As Syech Muhyiddin Ibn Al Arabi - (bukan Ibn Al ‘Arabi).


Kita kembali ketopik semula “Al Khirqah” Selanjutnya apa yang dikatakan oleh Ibn Arabi itu, diberi komentar oleh Al Imam Al Habib Abdullah bin Alwi bin Hasan Al Attas ra sebagai berikut : “sedangkan (kain) Khirqah sendiri tidak selalu harus dari Rasulullah Saw secara langsung. Al Libas (baju / pakaian sufi) itu sendiri sebenarnya adalah simbol dari Al Libas yang Haqiqi yaitu Al Libas At Taqwa. Bahwa telah menjadi kebiasan mereka (wali), bila mereka merasa ada yang kekurangan pada dirinya, maka mereka segara mencari seorang guru atau Syech dari jama’ah mereka untuk menyempurnakan segala kekurangan mereka, Lahiriyah maupun Bathiniyah. Bilamana semua kekurangan mereka telah menjadi sempurna, maka mereka diberi “Al Libas” sebagai simbol penyempurnaan. Inilah Al Libas yang kita ketahui dari para ‘Ulama ahli HAQEQAT.


Al Khirqah bagi para wali merupakan nilai dan prestasi tertinggi masing-masing wali. Al Khirqah Sayyidina Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin ‘Ali ra, memiliki nilai keistimewaan tersendiri yang melampaui dimensi pemikiran manusia. Al Khirqah yang beliau terima adalah “Khirqah Imam Qutb Al Kubra” Ini merupakan perlambang dari “derajat kepemimpinan tertinggi bagi para wali dimasa itu. Adapun silsilah Al Khirqah Sayyidina Al Faqih Al Muqaddam ra. Ada dua yaitu yang diterima langsung dari ayahanda beliau sendiri, dan yang kedua diterima dari As Syech Abu Madyan Syu’aib Al Maghriby.


Silsilah yang pertama adalah yang berasal dari ayahanda beliau sendiri Al Imam, Al Habib ‘Ali Ba’alawi, yang menerima dari ayahandanya Muhammad Shahib Marbath dan bersambung terus keatas sebagaimana urutan pada Nasab Al Faqih yang telah disebut sebelumnya.

Adapun yang kedua diterimanya dari :


1. As Syech Abu Madyan Syu’aib bin Abu Husain Al Maghriby, dari
2. Imam Abu Ya’la, dari
3. Al Imam Nur Ad-Din Abu Al Hasan Ali bin Hirzihim, dari
4. Al Imam Al Hafizd Al Faqih Al Qadhy Abubakar bin Abdullah Al Ma’afiri dari
5. Al Imam Hujjah Al Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazaly, dari

6. As Syech Al Islam Wal Muslimin Imam Al Haramain Abdul malik, dari
7. As Syech Muhammad bin Abdullah bin Yusuf Al Juwainy, dari
8. As Syech Al Arif Bi Ta’ala Abu Thalib Al Makky Muhammad bin Ali bin Athyyah dari
9. Al Imam Al Kabir Abu Bakar Dullaf bin jahdar As Sybly, dari
10. Al Ustadz Ahli Thariqah Wa Imam Ahli Al Haqiqah Abu Qasim Al Junaid bin Muhammad Al Baghday, dari
11. As Syech Asyahir Abu Hasan As SirryAl Mughallis As Siqty (As Saqaty, dari
12. As Syech Al Arif Billah Ta’ala Abu Mahfuzd Ma’ruf bin Fairuz Al Karakhy, dari
13. Al Imam Abu Sulaiman Daud bin Nushair Al Ta’iy, dari
14. As Syech Muhammad Habib bin Muhammad Al Ajami Al Kharasany, dari
15. Al Imam Al Kabir As Syahir Abu Sa’id Al Hasan bin Abu Al Hasan Al Bashry, dari
16. Al Imam Ahli Masyriq Wal Magharib Sayyidina ‘Ali bin Abu Thalib ra

Al Imam ‘Ali bin Abu Thalib ra, dari Sayyidina Wa Habibana Rasulullah Saw.

Dari Al Imam Ma’ruf Al Karakhy (NO 12), terdapat dua arah silsilah (bercabang dua), yang pertama seperti tersebut ditas, dan yang kedua, dari Ahlul Bayt yang susunannya sebagai berikut :

12. As Syech Al Arif Billah Ta’ala Abu Mahfuzd Ma.ruf bin Fairuz Al Karakhy, dari
13. Al Imam ‘Ali Ar Ridha ra, dari ayahnya
14. Al Imam Musa Al Kazhim ra, dari ayahnya
15. Al Imam Jafar As Shadiq ra, dari ayahnya
16. Al Imam Muhammad Al Baqir ra, dari ayahnya
17. Al Imam ‘Ali Zainal Abidin ra, dar ayahnya
18. Al Imam ‘Ali bin Abu Thalib ra. Dst….. sama seperti yang pertama tadi.


Beberapa Keutamaan Kelebihan Al Faqih Muqaddam ra.

Beliau mempunyai Keutamaan dan Kelebihan yang luar biasa Yakni berbagai keistimewaan yang dikaruniai Allah Swt kepada Imam AlFaqih Al Muqaddam Muhammad bin ‘Ali. Kekhususan pemberian Allah Swt itu menempatkan posisi beliau sebagai “Khawas Al Khawas” Maqam Kewaliyan beliau menjadi sebuah fenomena mistik yang sangat menakjubkan, serta selalu menjadi bahan analisa para ‘Ulama terkemuka dan terbesar dan bahkan para wali dizamannya. Diantara gambaran para kaum Al Arifin dimasa itu berkata antara lain :

“Sungguh telah membuat tercengang para sufi dan para wali akan Ahwal As Syech Al Faqih Al Muqaddam , dimana mereka semua tidak mampu menafsirkan dengan penafsiran yang sempurna. Disebabkan yang dimiliki dan dikuasai oleh Al Faqih Al Muqaddam melampaui batas pengetahuan mereka”


Diriwayatkan bahwa As Syech Al Kabir Ibrahim bin Yahya Bafadhal, yang karena didorong oleh penasaran keinginan tahunya maka beliau berkeinginan untuk menemui As Syech Abu Al Ghayst Ibnu Jamil, untuk menanyakan (hal) tiga orang yang pada saat itu mulai dikenal dikalangan masyarakat Hadhramaut.Yaitu Al Faqih Al Muqaddam, As Syech Abdullah bin Ibrahim Baqusyair, dan seorang lagi yang tidak diketahui namaya. As Syech Ibrahim sengaja datang menemui As Syech Abu Al Ghayst hanya untuk menayakan perihal ketiga orang tersebut. Ketika telah sampai di majelis As Syech Abu Al Ghayst, beliau duduk pada deretan paling belakang. As Syech Ibrahim bin Yahya Bafadhal menceriterakan sendiri tentang pertemuan beliau dengan As Syech Abu Al Ghayst Ibnu Al Jamil. “Dalam duduk ku dibelakang itu hatiku berbisik, apakah aku datang dari Hadhramaut kesini hanya hendak menanyakan tiga orang ini” Maka sebelum habis aku berkata dalam hati, As Syech Abu Al Ghayst telah mengetahui tujuan kedatanganku, beliau berdiri dan berkata “Siapakah diantara yang hadir yang bernama As Syech Ibrahim?” Lalu aku mendatanginya. Beliau berkata apakah yang Syech Ibrahim hendak tanyakan., lalu selanjutnya beliau berkata “Wahai Syech Ibrahim sesungguhnya engkau datang hendak menanyakan As Syech Muhammad bin ‘Ali bukan? As Syech Abdullah Baqusyair dan lelaki yang tidak dikenal namaya?

As Syech Ibrahim menjawab ya “benar” As Syech Abu Ghayst meneruskan “Aku akan jelaskan kepadamu perihal mereka bertiga. Yang pertama : Yaitu “As Syech Sayyidina Al Faqih ra.” Tidaklah kami (para sufi dan wali dapat menyamai derajat beliau walaupun hanya setengahnya). Adapun As Syech Abdullah bin Ibrahim Baqusyair adalah seorang Shaleh. Adapun yang satu lagi adalah orang yang kupandang tidak mempunyai kelakuan yang baik.

Menurut Al Habib Muhamad bin Husin Al Habsyi dalam kitab beliau Kepemimpinan para Wali diserahkan dari As Syech Abdul Qadir Al Jaelani kepada As Syech Abu Madyan Syu’aib Al Maghriby, yang akhirnya diserahkan kepada Sayyidina Al Faqih Al Muqaddam ra.


Sebagian pemuka tasawwuf berpendapat bahwa As Syech Abdul Qadir Al Jaelani pemimpin para Wali Masyhur, sedang Sulthan para Wali Mastur adalah Al Faqih Al Muqaddam ra, sedang perbandingan jarak derajat masyhur dan mastur tersirat dalam Qaul Tasawwuf “ WA KAM MASYHUR FII BARAKATI MATSTUR” Artinya “ Sesungguhnya sudah berapa banyak orang telah masyhur menjadi para wali, hanya karena baraqah dari satu wali mastur”

Telah ditanya Al Imam Al Habib Abdullah bin ‘Alwi Alhaddad (shahib Ar Ratib) oleh kalangan ‘Ulama mengenai Al Imam Al Qutb Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin ‘Alwi dan Al Imam Al Qutb Ar Rabbany As Syech Abdul Qadir Al Jaelani. Yang manakah diantara mereka yang lebih utama?

Beliau berkomentar “Sesungguhnya mereka berdua adalah tokoh besar kaum sufi dan wali yang agung. Akan tetapi kami (Bani Alawi) bernisbah dan mendapatkan baraqah dan Al Madat dari penghulu kami Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin ‘Ali lebih besar”.

Sayyidina Al Qutb Al Ghauts Al Habib Abdurrahman As Segaff berkata : “Tidaklah kami memuliakan seorang walipun diatas Sayyidina Al Faqih Al Muqaddam ra, dan setiap maqam wali itu berubah sesudah wafatnya, kecuali maqam Sayyidina Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin ‘Ali ra.


Sayyidina Al Faqih Al Muqaddam ra. Mempunyai akhlaq yang mulia, beliau melazimkan Al Khumul ( menghindari kemasyhuran), memiliki sifat tawdhu yang luar biasa. Dermawan, welas asih, mencintai fakir miskin, menghormati tamu, mencintai ‘ilmu, ahlih fiqih terkemuka, seorang yang berada dipuncak kesufian dan kewaliyan. Seluruh anak-anaknya menjadi ‘Ulama dan wali dizaman mereka masing-masing. Semua keturunannya bercahaya dan cemerlang, kecuali mereka yang meninggalkan pokok-pokok ajarannya. Semua ‘Ulama dan wali-wali besar diseluruh penjuru dunia terbanyak adalah dari keturunan beliau yang penuh baraqah.

Dalam Riyadhah, Mujahadah dan ‘Uzlah yang sangat luar biasa menjadikan beliau tokoh legenda Habaib. Suatu hari putera beliau As Syech Ahmad diam-diam mengikuti beliau sampai di Wadi An Nu’air. Tatkala ia sampai ditempat tersebut beliau melihat sang ayah sedang berzikir jahr (bersuara). Dilihat pula oleh As Syech Ahmad seluruh yang berada dilembah itu, dari pepohonan dan bebatuan sama berzikkir mengikuti Al Faqih Al Muqaddam ra. Maka pingsanlah putera beliau ini (As Syech Ahmad) yang ketika itu masih muda usia. Manakakala ia sadar Sayyidina Al Faqih Al Muqaddam ra, memperingatinya agar tidak lagi mengikuti beliau ketika sedang ber-Uzlah.


Demikianlah sekelumit kisah tentang kedua tokoh puncak yang diperkenalkan ini. Adapun tulisan ini belumlah mencakup semua hal-ikhwal mereka secara lengkap. Bahkan yang diangkat disini, laksana sebutir padi dari sekarung beras. Karena tujuan utama tulisan ini hanya untuk saling mengingatkan. Semoga kita mampu meneladani mereka, mengambil pelajaran dari mereka, insya Allah kita tidak mudah terperosok ke jalan yang salah dan keliru. Ilahi, jadikanlah kami diantara orang-orang mencintai mereka (para waliyullah). Jadikanlah kami diantara orang-orang yang beroleh manfaat dari ilmu ajaran mereka. – Akhirnya kami bermohan kepada Allah.


“ Allahumma Ya Allah, janganlah Engkau biarkan kami menjadi orang-orang yang hidup dalam penyesalan kelak, karena tidak mengikuti jalan mereka – Auliya was shalihin. Ilahi curahkan kepada kami dengan Hidayah, Rahmat serta pengampunan-Mu. Jangan biarkan kami tersesat jalan, padahal kami berada di bawah cahaya terang benderang leluhur kami yang mulia. Yaaa Raaabb, jadikanlah kami diantara orang-oarang yang mempunyai rasa takut atas penyesalan yang tidak bertepi ketika sudah dialamul barzakh. Rabbiii, sadarkan dan insafkan kami dalam sisa-sisa masa hidup ini, jauhkan kami dari kekhilafan dan kesalahan ilmu. Tempatkan kami pada shaf-shaf terdepan bersama orang-arang yang mengikuti jalan Sayyidina Muhamad Saw seperti para leluhur kami yang telah nyata-nyata Engkau muliakan. Wa Shalallahu ‘ala Sayyidina Muhammadin wa alihi wa shahbii ajma’in. Walhamdulillahi Rabbil ;Alamiin” – Mohon maaf atas segala kekhilafan dan kekurangan tulisan ini.

Sumber Bacaan :
- Fatuh Al Qulub – Aftabuddin Ahmad
- Manaqib Al Faqih Al Muqaddam Mhammad bin Ali ra – As Sayyid Muhammad Rafiq Alkaaf Gathmyr
- Manaqib As Syech Abdul Qadir Al Jaelani – Habib Hasyim bin Husen bin Thahir
- Tokoh Tasawwuf & Filsafat Agama – Prof DR H Abubakar Aceh



Jakarta : Jumat 14 Nopember 2008 M – 16 Zulkaidah 1429 H

Sayyid Ali Albaar – Pondok Bambu.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...