IP

Entri Populer

05 November, 2008

KESUCIAN SYARIFAH DALAM GUGATAN (II)


P E M B U K A A N

Tulisan ini disajikan dengan berpedoman kepada beberapa ayat-ayat suci Al-Qur’an berserta Tafsirnya dan Hadits-hadits Nabi Saw yang mulia.

1. Allah berfirman; Artinya : “Janganlah engkau turut apa-apa yang tidak ada pengetahuan engkau tentang keadaannya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, masing-masing akan diperiksa (diminta pertanggung jawabannya). (QS. 17 : 36)

Dalam Kitab tafsir, dijelaskan pengertian ayat ini Sebagai berikut; Berkata al- Aufi tentang maksud ayat ini: “Janganlah engkau menuduh seseorang tentang sesuatu yang engkau tidak punya pengetahuan dalam hal itu”. Sedang Qatadah berkata “Janganlah engkau berkata; “Aku telah melihat, padahal engkau tidak melihat, aku telah mendengar, padahal engkau tidak mendengar, aku mengetahui padahal engkau tidak mengetahui”. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung jawabanmu tentang itu semuanya”.

2. Firman Allah; Artinya : “Demi bintang bila ia terbenam. Tiadalah sesat temanmu (Muhammad) dan tidak pula salah (keliru). Dan tiadalah ia berbicara menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”. (QS. 53 : 1-4)

Tafsirnya; Berkata As-Sya’abi dan beberapa ‘ulama lain bahwasanya dengan segala yang dikehendaki-Nya di antara makhluk-makhluk-Nya seperti dalam surat ini, dengan bintang dan dengan bukit “At-Thuur” dalam surat terdahulu, sedang makhluk-Nya ialah manusia tidak boleh bersumpah melainkan dengan nama Allah.

Allah berfirman demi bintang ketika terbenam, tidaklah kawanmu Muhammad, hai kaum Quraisy, seorang yang sesat yang bertindak tanpa pengbetahuan dan tujuan, dan bukanlah pula ia seorang yamg dengan sengaja berpaling dari jalan yang hak dan benar kepada jalan yang lain.

Dan bukanlah sekali-kali dibawa dengan hawa nafsunya apa yang diucapkannya dan dibacakan kepadamu.

Itu adalah Al-Qur’an, kalam Allah yang diwahyukan kepadanya dengan perantaraan Malaikat Jibril untuk disampaikan kepadamu secara tuntas, tidak dikurangi ataupun dilebihkan, sesuai dengan amanat yang diterima dari Tuhan-Nya.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwasanya Abdullah bin Amr berkata; ”Aku biasa mencatat (menulis) segala yang kudengar dari Rasulullah untuk kuhafalkan, maka aku ditegur oleh beberapa pemuka Quraisy dengan berkata; “Mengapa engkau mencatat (menulis) segala yang engkau dengar dari Rasulullah, padahal ia adalah seorang manusia juga yang kadangkala dapat berbicara atau mengucapkan sesuatu disaat ia dalam keadaan marah”. Teguran orang Quraisy itu segera kusampaikan kepada Rasulullah Saw. Maka bersabdalah beliau kepadaku. Artinya: “Catatlah (tulislah) seperti biasa, demi Tuhan yang nyawaku berada di tangan-Nya, tidak keluar dari padaku melainkan yang hak (benar).

3. Firman Allah; Artinya : Kami anugerahkan kepadanya (Ibrahim), Ishaq dan Ya’qub. Keduanya itu Kami beri petunjuk, dan Kami telah menunjuki Nuh sebelum itu dan diantara keturunannya Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikian Kami balasi orang-orang yang berbuat kebaikan. * Dan kami tunjuki juga Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas. Semuanya itu orang-orang yang shaleh.* Dan begitu juga Isma’il, Ilyasa’ Yunus dan Luth. Semuanya itu Kami utamakan derajatnya melebihi orang-orang (semua ummat) dimasanya.* Dan (begitupun) diantara bapak-bapak mereka dan anak cucu mereka dan saudara-saudara mereka, dan Kami pilih mereka itu, dan Kami tunjuki ke jalan yang lurus. (QS. 6 : 84 – 87)

Tafsirnya; Allah menyebutkan, bahwa Allah memberi putera kepada Ibrahim ketika ia sangat tua usianya, dan telah putus harpan untuk mendapatkan putra dari istrinya yang bernama Sarah, tiba-tiba datang kepadanya beberapa Malaikat yang akan pergi kepada kaum Luth, lalu kedua Malaikat itu memberitakan kepadanya akan mendapat putera yang bernama Ishaq. Sehingga Sarah merasa sangat ajaib dan berkata: Aduhai aku akan beranak padahal aku sudah tua, dan suamiku pun tua. Ini sungguh suatu yang ajaib. Para Malaikat bertanya;

“Adakah anda ajaib dari kehendak Allah, Rahmat Allah dan berkat-Nya selalu turun atasmu dari keluarga yang baik.

Sungguh Allah Maha Terpuji dan Maha Mulia. Bahkan diberi kabar bahwa puteranya itu akan menjadi Nabi dan beranak yang bernama Ya’kub. Sehingga keluarga itu akan merasakan bahagia dengan putera dan cucu yang akan datang.

Demikian kekuasaan Allah disaat manusia tidak dapat menjangkau dengan kekuatan otak serta akal pikirannya akan sesuatu hal. Tiba-tiba Allah memberitahu yang akan terjdi semata-mata dengan kekuasaan Allah, sebab akal manusia sudah tidak dapat meraba lagi atau menjangkau sesuatu yang tidak lazim dan tidak umum terjadi.

Dan ini sebagai balasan Allah terhadap Ibrahim a.s. karena ia telah sanggup meninggalkan kaumnya semata-mata karena ibadat kepada Allah, maka Allah memberi ganti padanya turunan yang shalihin. Sebagai yang tersebut dalam surat Maryam: “ Fa lamma tazalabahum wamaa ya’buduna min dunillahi wahabna lahu Ishaqa wa ya’quba wakulan ja’alna nabiyaa. ( Ketika ia Ibrahim meninggalkan kaumnya dan semua yang mereka sembah selain Allah. Maka Kami berikan kepadanya putera Ishaq dan cucu bernama Ya’qub, dan masing-masing kami jadikan Nabi utusan Allah.

Dan sebelum mereka kami telah beri hidayah kepada Nabi Nuh a.s. dan dari turunan Ya’qub, Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun a.s., demikianlah Kami membalas orang yang berbuat baik.

Dan Zakariya, Yahya, Isa dan Ilyasa a.s. kesemuanya termasuk orang shaleh. Dan msing-masing dari Nuh dan Ibrahim a.s. mempunyai kelebihan-kelebihan yang khusus ketika Allah telah menenggelamkan kaumnya kecuali yang beriman yang ikut kepadanya diatas bahtera. Maka semua manusia yang ada ini dari keturunan Nabi Nuh a.s. Sedang Nabi Ibrahim, maka tiada Nabi yang diutus sesudahnya melainkan dari turunannya. Sebagaimana tersebut dalan surat Alhadid ayat 26 – walqad arsalnaa Nuuhan wa Ibraahima waja’alna fi dzurriyatihiman nubuwaata wal kitaaba. (“Sungguh Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim, dan Kami jadikan dari keturunan keduanya kenabian dan kitab”) Wamin Dzurriyatihi: Dan turunannya dalam kalimat ini, termasuk juga kemenakan, sebagaimana Nabi Luth putera Haran bin Aazar. Juga termasuk turunan dari puteri-puterinya.

Alhajjaj memanggil Yahya bin Ya’mur dan bertanya padanya: Saya mendengar anda menyatakan bahwa Alhasan dan Alhusain termasuk turunan Nabi Saw. Apakah itu anda dapatkan dalam kitab Allah, sebab saya telah membaca dari awal hingga akhir tidak ada keterangannya?

Jawab Yahya : Tidakkah anda membaca surat Al-An’am: Wamin dzurriyatihi Daawuuda wa Sulaimaana hingga wa Yahya wa Isa?

Jawab Alhajjaj: Benar. Tidakkah Isa termasuk turunan Ibrahim meskipun ia tidak berbapak? Jawab Alhajjaj: Benar anda. Sebab inilah jika orang berwasiat atau mewakafkan untuk dzurriyah (turunan) termasuk juga cucu dari anak perempuan. Adapun jika ia memberi pada putera-puteranya atau mewakafkan untuk mereka, maka khusus untuk turunan anak laki-laki. Juga mereka berdalil dengan sebuah syair yang berbunyi :

“Baanu naa banuu abnaa inaa, wa wabanaa finaa banuu hunna abaa’urrijaa lil ajaa nibi. – Putera-putera kami ialah putera-putera dari putera kandung kami. Dan puteri-puteri kami, anak mereka adalah putera orang lain”.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa putera dari puteri itu masuk dalam turunan cucu, berdalil pada hadits Bukhari bahwa Rasulullah Saw. Bersabda kepada Alhasan : Inna ibni hadza sayyidun, wa la’alla Allah an yush liha bihi baina fiataini adhimataini minal muslimin. – (Sesungguhnya anakku (cucuku) ini seorang yang mulia, semoga Allah akan mendamaikan dengannya di antara kedua golongan yang besar dari kaum muslimin). Nabi Saw menyebut Alhasan Ibni (puteraku) menunjukan putera dari anak perempuan masuk dalam turunan. (Sumber kitab Tafsir Ibnu Katsier)

Maksudnya, ini merupakan sebuah kekhususan, artinya cucu Nabi Saw dari anak perempuan hanyalah putera-puteri dari Fathimah saja. Generasi berikutnya bernasab kepada ayah mereka masing-masing. Sehingga apabila seorang anak berayahkan dari aal Muhammad, maka ia termasuk aal Muhammad. Sebaliknya apabila seorang anak yang berayahkan bukan dari aal Muhammad maka jelaslah ia bernasab kepada ayahnya itu sekalipun ibunya adalah seorang syarifah.

Begitulah adanya, sehingga kondisi seperti inilah yang dimaksudkan sebagai pemutusan hubungan dzurriyat dengan Nabi Saw.

4. Hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh ; Al-Dailami, Al-Thabarani, Abu Syaikh, Ibnu Hibban dan Al- Baihaqi, bahwa Nabi Saw bersabda : ‘Tidaklah beriman seseorang hamba sehingga aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, dan keturunanku lebih dicintai dari pada keturunannya sendiri, dan keluargaku lebih dicintai daripada keluarganya sendiri, dan zatku lebih dicintai dari zatnya sendiri”.

5. Karena itulah Abubakar Al-Shiddiq berkata : “Menjalin hubungan kepada sanak keluarga Rasulullah lebih aku sukai, daripada menjalin hubungan dengan sanak keluargaku”.

6. Diwayatkan oleh Ahmad marfu’: “Barang siapa membikin marah ahlul bait ia adalah seorang munafiq”.

7. Dari Abu Sa’id bahwa Nabi Saw bersabda : “Tidaklah seseorang membikin marah kami ahlul bait, melainkan orang itu akan dimasukkan Allah kedalam neraka”. Hadits diatas diriwayatkan oleh Al-Hakim dan disahihkannya sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim.

8. Dari Abu Sa’id, bahwa Nabi Saw bersabda : “Allah sangat murka terhadap orang yang menyakiti aku dalam urusan keturunanku”. (HR Al-Dailami).

9. Diriwayatkan dari Abu Syaikh dari Ali karamallahu wajhahu, ia berkata; “Suatu ketika Rasulullah keluar dalam keadaan marah menuju kemimbar, kemudian setelah menyampaikan puji-pujian kepada Allah, beliau berkata : “Betapa teganya orang yang menyakiti aku dalam urusan ahlul bait-ku. Demi Zat yang nyawaku berada didalam genggaman-Nya, tidaklah beriman seseorang hamba hingga ia mencintai aku, dan tidaklah ia mencintai aku hingga ia mencintai keturunan-ku”.

10. Dari Imam Ali k.w. Rasulullah Saw bersabda : “Ya Allah karuniakanlah kepada orang yang membenci aku dan keluargaku harta dan anak yang banyak”. (HR Al-Dailami).

11. Ibnu Hajar mengomentari hadits ini sebagai berikut : “Dengan banyak harta, maka mereka akan bertambah lama dihisab, dan dengan banyak anak, maka akan bertambah banyak pula setan-setan mereka. Hal ini tidak sama bagi orang yang tidak membenci beliau dan keluarganya, sekalipun do’anya sama. Karena harta dan anak itu dapat menjadi nikmat yang menyampaikan kepada berbagai kebutuhan, berbeda dengan orang-orang yang membenci beliau dan keluarganya tersebut”.

12. Dari Imam Ali k.w. yang berkata kepada Mu’awiyah : “ Janganlah sekali-kali anda membenci kami, karena

13. Rasulullah telah bersabda; ‘Tidaklah seseorang yang membenci atau merasa iri kepada kami, melainkan orang itu akan diusir dari Al-Haudh (telaga Nabi Saw) pada Hari Kiamat dengan cambuk dari api”. (Diriwayatkan oleh Al-Thabarani dalam Al-Ausath-nya). Hadits-hadits 5 – 11 diatas bersumber dari Muhammad Ali Shabban dalam buku “TELADAN SUCI KELUARGA NABI” – Akhlaq dan Keajaiban-Keajaibannya – Alih bahasa : Sayyid Idrus H Alkaf.- Diberi kata pengantar oleh; jalaluddin Rakhmat.– Penerbit; Al-Bayan.

14. Hadits yang dikemukakan oleh Ibnul Qayyim ialah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam ‘Shahih”-nya berasal dari ‘Urwah bin Zubair yang mendengar sendiri Siti ‘Aisyah r.a. berkata, bahwasanya pada suatu hari Rasulullah Saw menyuruhnya membawa se-ekor kambing tidak bertanduk dan berwarna ke-hitam-hitaman guna disembelih. Setelah kambing itu dibaringkan, sebelum disembelih Rasulullah Saw berdo’a "Bismillah ya Allah, terimalah dari Muhammad, dari aal Muhammad dan dari ummat Muhammad" kemudian kambing itu disembelih. Imam Muslim meriwayatkan hadits itu selengkapnya dan menerangkan urutan maknanya yang berlainan, yaitu bahwa “ummat Muhammad” mempunyai arti umum, sedang “keluarga” adalah menunjukkan kekhususan.

Orang-orang yang menafsirkan kata “aal” bermakna “keluarga Muhammad Saw”. yang diharamkan menerima Shadaqah”, mengatakan bahwa penafsiran yang berdasarkan ucapan Rasulullah Saw, lebih utama daripada penafsiran yang berdasarkan pendapat orang lain,(apa, dan siapapun dia orangnya - pen). Demikianlah dalil-dalil yang dikemukakan oleh Ibnul Qayyim mengenai penafsiran-penafsiran orang yang mengandung faham pertama.

Pada dasarnya semua keturunan ahlul bait Rasulullah saw, diharamkan menerima shadaqah atau zakat. Yang dimaksud keturunan ahlul bait, khususnya ialah mereka yang berasal dari keturunan Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma. Bukan keturunan dari dua orang saudara perempuan mereka, kendatipun semuanya adalah putera-puteri Fathimah binti Muhammad Rasulullah Saw. Ketentuan tersebut berdasarkan pada sebuah hadits shahih berasal dari Jabir r.a. diketengahkan oleh Al-Hakim didalam “al-Mustadrak” dan oleh Abu Ya’laa dalam “Musnad”-nya;

Bahwasanya Siti Fathimah r.a. meriwayatkan, ayahandanya saw, berkata: “Semua anak Adam yang dilahirkan oleh seorang ibu termasuk di dalam sutu ‘ushbah – yakni kelompok dari satu keturunan – kecuali dua orang putera Fathimah. Akulah wali dan ‘ushbah mereka berdua”.

Yang dimaksud “dua orang putera Fathimah “ dalam Hadits tersebut ialah Al-Hasan dan Al-Husain Radhiyallhu ‘anhuma. Dengan memperhatikan lafadz Hadits tersebut kita dapat mengetahui dengan jelas bagaimana Rasulullah Saw. mengkhususkan pengelompokan Al-Hasan dan Al-Husain r.a. sebagai keturunan beliau Saw. sedang dua orang saudara perempuan mereka (Zainab r.a. dan Ummu Kultsum r.a, dua orang puteri Siti Fathimah juga} dikecualikan dari pengelompokkan nasab tersebut diatas. Karena anak-anak dari kedua orang puteri Siti Fathimah r.a. itu bernasab kepada ayahnya masing-masing yaitu Abdullah bin Ja’far dan Umar bin Khattab demikian seterusnya.

Itulah sebabnya kaum Salaf dan kaum Khalaf memandang anak laki-laki seorang Syarifah (wanita keturunan ahlul bait Rasulullah Saw.) tidak dapat disebut syarif (atau sayyid), jika ayahnya bukan seorang syarif (sayyid). Kalau pengkhususan tersebut diatas berlaku umum bagi semua anak yang dilahirkan anak cucu perempuan Rasulullah Saw. tentu anak lelaki seorang syarifah adalah syarif yang diharamkan menerima shadaqah, walaupun ayahnya bukan seorang syarif.

Karena itu Rasulullah Saw. menetapkan kekhususan tersebut hanya berlaku bagi dua orang putera Siti Fathimah r.a., tidak berlaku bagi puteri-puteri Rasulullah Saw. selain Siti Fathimah r.a.

Karena kakak perempuan Siti Fathimah r.a., yaitu Zainab binti Muhammad Saw. tidak melahirkan putera lelaki, tetapi hanya melahirkan anak perempuan yaitu Amamah binti Abul-‘Ash bin Ar-Rabi’, dengan seorang pria bukan kalangan ahlul bait Rasulullah Saw. Ketentuan itu diambil Rasulullah Saw. semasa hidupnya.

Hal itu menunjukkan bahwa anak-anak Amamah tidak bernasab kepada Nabi Saw. karena Amamah adalah anak perempuan dari puteri beliau, Zainab r.a. yang menjadi istri seorang pria bukan dari ahlul bait Rasulullah Saw.

Seandainya Zainab r.a. melahirkan seorang anak lelaki dari suami seorang ahlul bait tentu bagi anak lelakinya itu berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma, yaitu bernasab kepada Rasulullah Saw. Demikian itulah sebuah kenyataan yang patut diterima karena datangnya dari Rasulullah Saw. yang mulia. Masih sangat banyak lagi berita-berita mutawatir & sahih dari berbagai sumber yang menjelaskan perihal kedudukan ahlul bait Rasulullah Saw. dan kaitannya dengan masalah “Kufu” atau “Kafa’ah”

Ibnu Sa’ad meriwayatkan sebuah Hadits bahwa Nabi Saw. bersabda; “Berbuat baiklah kepada ahlu bait-ku, karena kelak aku akan memperkarakan kalian tentang mereka. Barang siapa yang aku perkarakan, maka Allah pun akan memperkarakannya, dan barang siapa yang diperkarakan Allah, maka orang itu dimasukkan kedalam neraka”.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...