IP

Entri Populer

05 November, 2008

KESUCIAN SYARIFAH DALAM GUGATAN (I)


KESUCIAN SYARIFAH DALAM GUGATAN
MENGUAK TABIR RAHASIA KEMULIAAN PUTERI PUTERI NABI


KAFA’AH DALAM ISLAM & MASALAHNYA

Tulisan berikut ini adalah sebuah telaah atas tulisan Saudara M. Hasyim Assagaf dalam bukunya yang diberi Judul : “DERITA PUTRI PUTRI NABI” – STUDI HISTORIS KAFA’AH SYARIFAH, PENERBIT PT REMAJA ROSDAKARYA BANDUNG – SEPTEMBER 2000.

Sebenarnya kami tidak mempunyai kepentingan menanggapi buku ini, atau buku siapapun, andaikan saja isinya tidak merupakan sebuah pelecehan terhadap komunitas Habaib secara keseluruhan. Disamping itu ayat-ayat Al-Qur’an serta beberapa Hadits Nabi Saw, yang dipergunakan sebagai hujjah untuk mendukung isi buku tersebut tidak saja merupakan pembodohan terhadap ummat Islam, tetapi lebih dari itu penulisnya sangat berani manafsirkannya sesuai dengan keinginan jalan pikarannya belaka. Dimana hal yang demikian itu telah melanggar hukum normatif kaidah syari’at Islam yang mulia. Oleh karena itulah maka tinjauan atas buku ini dirasakan sangat perlu disebabkan oleh beberapa alasan yang sangat mendesak antara lain :

Pertama; Isi buku tersebut sangat mengganggu dan melukai hati kaum Alawiyyin. Terutama sebahagian besar kalangan Syarifah yang baik, bersih dan istiqamah. Mereka merasa sangat berkeberatan dijadikan obyek pembicaraan untuk masalah yang tidak benar diselimuti dusta yang dinisbatkan kepada mereka (syarifah).

Kedua; Berbeda pandangan mengenai kafa’ah dan pembelotan yang terjadi pada sekelompok kecil masyarakat Ba’alawi yakni kaum Sayyid dan Syarifah yang sedikit jumlahnya itu, tidak harus berarti mewakili seluruh anggota keluarga kalangan Ba’alawi.

Ketiga; Bahwa sesungguhnya setiap individu mmpunyai hak dan kewajiban amanah yang patut ditunaikan. Sehingga selaku seorang anak ia bebas menentukan pilihan pasangan hidupnya dalam masalah perkawinan. Sebagai orang tua iapun bebas menentukan kepada siapakah anaknya itu akan dinikahkan dan dikawinkannya. Sangat tidaklah patut bagi orang yang telah memperbuat kekeliruan dan kesalahan fatal secara individual dalam masalah kafa’ah ini, kemudian memcari sebuah pembenarannya dengan cara-cara kurang bermoral dan beradab.


Lalu menisbatkan kesalahan itu kepada orang-orang yang mulia sebelum mereka.

Keempat; Masalah kafa’ah atau kesetaraan didalam perkawinan tidak di monopoli oleh kaum Alawiyyin semata. Syarat hukum kafa’ah itu sendiri telah diatur didalam hukum perkawinan Islam. Bahkan orang-orang Islam yang bukan dari kalangan Ba’alawi pun menggunakan hak kafa’ah itu menurut cara mereka masing-masing. Dan orang-orang yang bukan beragama Islampun didalam soal perkawinan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip kesetaraan (kafa’ah) itu, dengan cara-cara serta alasan-alasan mereka sendiri pula.

Kelima; Menjaga dan melindungi serta memelihara kelangsungan “nasab” – keturunan yang baik, tidaklah serta merta identik dengan sebuah kesombongan dan kecongkakan. Tidak juga merusak syari’at Islam yang mulia, tidak identik pula dengan diskriminasi rasial. Ia bahkan merupakan sebuah kewajiban orang beriman, bukankah urat keturunan itu sangat penting? Mungkinkah hak asasi seseorang itu harus kita batasi?, kemudian kita perjuangkan kepentingan kita dengan mangatas namakan hak asasi?. Alangkah zalimnya tindakan dan perbuatan seperti itu. Apakah orang yang menolak sebuah permintaan, atau ia enggan memenuhi keinginan orang lain harus diartikan pelanggaran atas hak asasi orang tersebut?, lalu dimanakah hak asasi kita sendiri?.

Keenam; Bagi mereka yang menentang hukum kafa’ah dalam perkawinan, mengabaikan semua hujjah baik itu nash Al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi Muhammad Saw. Sebaliknya mereka menghendaki agar semua orang mengikuti faham dan cara mereka dalam mengimplementasikan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Saw. Begitu pula fatwa-fatwa ‘Ulama dari berbagai Madzhab dan para ‘ulama salaf maupun khalaf baik dari kalangan Ba’alawi atau lainnya yang membenarkan hukum kafa’ah tersebut ditolak oleh mereka. Lebih jauh lagi, mereka menganggap fatwa-fatwa seperti itu sebagai orang yang tidak berilmu, tanpa petunjuk dan kitab yang jelas. Padahal mereka sendiri sebenarnya sadar bahwa mereka bukanlah orang yang patut dan pantas disejajarkan dengan orang-orang yang mereka cela itu, baik dari segi ilmu agama apalagi akhlaqnya.

Ketujuh; Penolakan atas hukum kafa’ah dalam perkawinan dan membolehkan serta membenarkan syarifah dikawinkan dengan pria non sayyid, didasarkan kepada beberapa contoh semata.

Seperti katanya anak cucu Zaid bin Ali Zainal ‘Abidin tidak melarang. Bahwa tokoh Mazhab Zaidi menikahkan puteri mereka dengan pria Muslim non sayyid.

Begitu pula ada tiga orang anak Imam Khomeini dinikahkan dengan yang bukan sayyid. Kejadian seperti itu bukanlah sebuah alasan hukum, yang mana mengikuti atau menolaknya bukanlah sebuah kewajiban. Namun demikian alasan yang dikemukakan itu sangatlah diragukan kebenarannya. Mereka mengedepankan nama-nama tokoh terhormat itu agar orang mempercayainya. Mereka dengan berani mengambil resiko dan mengundang bencana besar yang bakal menimpa mereka sendiri atas segala bentuk pemutar balikkan fakta dan kebohongan seperti itu, dengan menisbatkannya kepada orang-orang yang mulia.

Kedelapan; Mereka sama sekali belum atau tidak faham akan adanya pengertian dan makna khusus ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah Saw. Ini terlihat dari ayat-ayat Al-Qur’an yang dikemukakan dalam buku tersebut diatas banyak diantaranya sama sekali tidak ada relevansinya dengan masalah yang mereka perbincangkan itu. Hal seperti ini akan kami tunjukan nanti ketika telaah ini sampai pada topik itu.

Kesembilan; Buku Derita Putri-Puri Nabi, sangat jelas sekali yang dimaksudkan oleh penulisnya adalah “Puteri-Puteri Nabi Muhammad Saw”. Yaitu anak cucu Rasulullah Saw termasuk Siti Fathimah al-batul binti Rasulullah Saw. Padahal penulis tidak tahu persis Puteri-Puteri Nabi Saw yang manakah yang menderita itu?, ataukah puteri-puteri penulis sendiri dan segelintir syarifah lainnya?. Adakah penulis buku itu menyadari bahwa berapa banyak syarifah yang terlanjur kawin atau menikah dengan pria bukan sayyid yang sesungguhnya hidup dalam penyesalan?, menderita karena kemauannya sendiri. Begitu pula tahukah penulis buku itu bahwa berapa banyak Sayyid atau Ba’alawi yang saat ini meratap, menangis menyesali dirinya sendiri yang telah melepaskan puterinya (syarifah) yang dinikahkan dan dikawinkannya sendiri kepada pria yang tidak kufu (kafa’ah?). Apakah tuan M.Hasyim Ass.mengetahui berapa besar penyesalan mereka. Dapatkah anda tunjukan Syarifah manakah yang hidup berbahagia secara hakiki ketika dia bersuamikan seorang lelaki bukan sayyid?

Sekalipun suaminya itu adalah orang yang berada dan mampu secara materi? Apakah anda pernah mengadakan survey dan mendalami masalah ini?.

Tahukah anda pula ada berapa banyak wanita kita (syarifah), yang dikawini oleh pria bukan sayyid yang kemudian menghina mereka?.

Memperlakukan mereka sangat buruk dan menjadikan mereka tidak berharga? Itukah yang tuan M. Hasyim Ass. mengartikan sebagai suatu kebahagiaan?. Atau inikah jalan kebahagiaan yang anda tunjukkan bagi anak-anak perempuan anda sendiri dan lainnya? Apakah kerelaan anda itu sudah yang paling benar sehingga anda mengajak orang lain mengikuti jalan anda?. Ataukah anda sendiri adalah orang yang sadar dari keterlanjuranmu sendiri, kemudian ingin mengajak orang lain dari saudara-saudara anda yang awam dan buta ilmu, serta tidak terlalu memahami masalah kafa’ah itu untuk menemani anda?. Memperhatikan kapasitas Saudara M.Hasyim Ass. kami yakin se-yakin-yakinnya bahwa ada tokoh-tokoh lain dibelakangnya, yang hati mereka telah diracuni kebencian kepada kaum Ba’alawi yang sudah berlangsung sejak berabad abad lamanya. Saudara Muhammad H. Ass. dimanfaatkan dan tampil menjadi kenderaan tunggangan mereka. Untuk pembuktian atas konspirasi licik mereka ini, perhatikan saja akhir hidup mereka kelak seperti apa nantinya, kita serahkan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kesepuluh; Menggunakan batasan bahwa semua manusia itu berasal dari Adam dan Siti Hawa a.s, adalah sebuah hujjah yang sangat lemah lagi bodoh. Bukankah semua orang tahu bahwa Nabi Adam dan Siti Hawa melahirkan anak kembar pasangan pria dan wanita. Pengembangan biakannya melalui perkawinan silang diantara anak-anaknya ketika itu, yang secara khusus memang dibolehkan. Diantara mereka ada yang baik dan ada pula yang jahat. Contoh soalnya terdapat didalam kisah Qabil yang memebunuh adiknya Habil. Dari anak-anak Adam dan Hawa a.s. ada yang kemudian melahirkan orang-orang mulia yakni para Nabi-Nabi. Sementara adapula anak-anak keturunan Adam dan Hawa a.s. melahirkan generasi keturunan yang jahat. Soalnya sekarang adalah tahukah kita dari anak Adam dan Hawa yang mana kita berasal? Apakah karena kita berasal dari Adam dan Hawa lalu kita semua harus sama secara hitam putih? Siapakah yang memberikan keunggulan keturunan diantara anak cucu Adam dan Hawa? Mengapa garis keturunan para Nabi harus keluar dari dzurriyat Adam yang telah ditentukan Allah yakni Nabi Syth a.s?

Mengapa Allah memuliakan Rasulullah Muhammad Saw melebihi Nabi-Nabi yang lain?


Mengapa hanya nama Muhammad Rasulullah yang mendampingi nama Allah pada Dua Kalimat Sahadat Islam padahal ia Nabi yang terakhir?.

Mengapa Nabi harus bersabda bahwa “Semua anak Adam benasab kepada orang tua lelaki (ayah mereka), kecuali anak-anak Fathimah. Akulah ayah mereka dan akulah yang menurunkan mereka”.

Sabda Nabi Saw tersebut terdapat didalam berbagai kitab antara lain “Mustadrakus-Shalihain”, “Ad-Dur Almantsur” tulisan As-Sayuthiy, “Kanzul Ummal”,”Sunnah A-Tirmudziy”, “Tafsir At-Thabraniy”, “Khasha’ish an-Nasa’iy”, “Tarikh Baghdad”, “Al-Isti’ab”, “Ar-Riyadh an-Nadhrah”, “Musnad Abi Dawud”, “Asad Al-Ghabah dan lain-lain. Penulis Tafsir Al-Manar”, Syeikh Muhammad ‘Abduh dalam menafsirkan ayat 84 Surah Al-An’am.

Hadits Nabi Saw tersebut diatas sangat gamblang jelas dan tegas. Bahwasanya hanya anak-anak Fathimah dan Imam Ali (Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain) sajalah yang mengambil Nasab kepada beliau. Karena keturunan beliau Saw melalui Sayyidina Ali dan Sayyidatuna Fathimah Azzahra. Sedangkan keturunan selanjutnya mengikuti Nasab ayah mereka masing-masing. Disinilah nanti akan terlihat siapakah yang terpelihara Nasabnya dan siapakah yang teputus Nasabnya. Apabila kemudian ada seorang Syarifah menikah dengan seorang yang bukan Sayyid dan mempunyai anak,maka jelaslah Nasab anaknya itu tersambung kepada ayahnya, dan tidak tersambung kepada Nasab ibunya lagi. Artinya anak-anak sang Syarifah yang kawin selain Sayyid tadi tidak termasuk lagi kepada aal Muhammad. Perhatikan pembahasan yang akan datang mengenai penetapan Nabi Saw perihal “nasab” ini dalam kothbah di Padang ‘Arafah. Dalam hal Nasab Rasulullah ini, janganlah kita buat definisi yang lain kecuali yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Karena sangatlah mustahil ketetapan Nabi Saw itu bertentangan dengan kehendak Allah SWT, ingat itu!!!

Itulah beberapa alasan dari sekian banyak alasan mengapa kami harus bersusah payah selama lebih kurang sepuluh hari menulis telaah atau tinjauan atas buku yang berjudul Derita Puteri-Putri Nabi yang jelas merupakan sebuah pembodohan dan kontroversial, serta bahkan lebih dari itu.




Ia dipandang sebagai sebuah upaya pelecehan terhadap “institusi Habaib yang dimuliakan Allah dan Rasul-Nya”. Ketahuilah bahwa tidak ada sebuah kenikmatan dan kemulian pemberian Allah itu mampu dilecehkan oleh sebuah tipu daya, kebohongan, dusta dan pembodohan.

Demikian pula sebuah kehinaan yang datang dari Allah tidak akan pernah sanggup manusia menutupi, merubahnya menjadi mulia, sekalipun dengan persekutuan semua orang-orang berilmu sedalam dan setinggi apapun.

Tidakkah lebih baik kita merenungi diri masing-masing seraya bertanya kepada jiwa fitrah dimanakah sesungguhnya kita berada. Apakah setiap perbuatan kita itu termasuk perbuatan orang yang baik lagi mulia, ataukah orang yang zalim lagi bodoh dan hina. Bukankah Allah-pun telah berfirman : “Sesusungguhnya manusia itu aniaya (zalim) lagi jahil (bodoh tidak berilmu)” QS.33 : 72.

Telaah atau koreksi atas tulisan buku yang dimaksud, bertujuan meluruskan yang bengkok, menyadarkan yang keliru, menasehati yang awam, mengingatkan yang lupa sombong, angkuh lagi jahil. Oleh karenanya telaah ini ditulis seringkas mungkin tanpa meninggalkan kaidah dan norma-norma Agama Islam, disertai hujjah-hujjah dari sumber yang populer. Yakni Al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw yang mulia, yang disajikan kepada siapa saja yang menginginkan kebenaran menyingkirkan kezaliman guna meraih kebahagiaan hidup, mencapai kemuliaan mati. Telaah ini bukanlah dari orang pandai dalam Agama, dan bukan pula pahlawan seorang dzurriyat Rasulullah Saw, tetapi hanyalah pandangan pribadi dari seorang hamba Allah yang dhaif dengan sedikit ilmu dari-Nya, serta masih terus dan terus belajar, dan tidak hendak berpolimik, karena tidak memperoleh manfaat apapun dari arah itu.

Tinjauan atas tulisan Saudara M.Hasyim Ass. itu disusun secara berurutan dari halaman pertama hingga halaman terakhir. Dengan memberi ulasan, koreksi dan penjelasan atas bagian-bagian yang dipandang perlu. Adapun tujuan tulisan ini, sebagai sebuah upaya menyadarkan semua pihak yang berkepentingan. Baik dari pihak penulis maupun pembaca buku “Derita Putri Putri Nabi”, agar tidak terperosok dan tergilas bencana akibat kelalaian diri sendiri. Terutama tulisan ini lebih ditujukan secara khusus kepada seluruh kalangan dan keluarga Alawiyyin (Ba’alawi).



Untuk itu copy naskah ini akan kami serahkan kepada : ALMAKTAB ADDAIMI – KANTOR PEMELIHARAAN SEJARAH DAN STATISTIK ALAWIYAH – ARRABITHA AL-ALAWIYAH – PENGURUS PUSAT JAKARTA – INDONESIA – JALAN KH.MAS MANSYUR 17, JAKARTA 10240 – INDONESIA, melalui Saudara saya Sayyid Abubakar bin Abdillah Assagaf.

Untuk apabila di pandang perlu dapat disebar luaskan kepada seluruh keluarga Ba’alwi secara cuma-cuma. Agar dapat diketahui betapa kemuliaan yang memyertai ithrah Rasulullah Saw. Sehingga dengan demikian setiap orang yang merasa mempunyai hubungan “N a s a b” dengan beliau Saw akan terpanggil jiwa dan hatinya secara qudrati untuk bangkit menjaga dan memeliharanya. Tindakan seperti ini adalah bahagian dari realisai rasa syukur kepada Allah SWT, dari orang-orang beriman dengan sebenar-benarnya keimanan kepada-Nya.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...