IP

Entri Populer

05 November, 2008

KESUCIAN SYARIFAH DALAM GUGATAN (IV)


KOREKSI ATAS BUKU “DERITA PUTRI PUTRI NABI”

Lanjutan

Pada prinsipnya masalah keturunan Nabi Saw dan masalah sayyid, syarifah ini, sudah berada dalam perbincangan sejak berabad-abad silam. Hal itu disebabkan adanya unsur-unsur kemuliaan dari Allah dan Rasul-Nya yang menyertainya. Tinggalah kita sekarang, apa yang bisa kita petik dari segala macam bentuk polemik sampai konflik pendapat yang hadir ditengah kita ini.

Dalam halaman 71, Mengenai undang-undang perkawinan. Pada masa kini tidak ada yang rumit semua sudah tahu dan menjalankannya menuruti kaidah syari’at yang benar, dalam hal ini peran aktif kita haruslah maksimal. Mengapa anda tidak kasih komentar pada sebuah pernikahan dengan penetapan Mahar berupa Al-Qur’an dan seperangkat alat shalat yang sering terjadi belakangan ini. Lihatlah mahar bagi sebuah aqad nikah seperti itu ambil contoh dari mana? Kesalahan itu kalau hendak diuraikan disini terlalu panjang. Ada lagi saat aqad nikah pengantin laki dan wanita disandingkan didepan penghulu, adab seperti ini kapan sih mulainya?, mengapa orang tidak menulis buku untuk itu.

Masalah persetujuan mempelai adalah masalah yang bersifat teknis. Orang tuapun tidak ingin mengambil resiko dengan memaksakan puterinya menikah dengan seseorang sekalipun itu antara syarifah dan sayyid. Apalah gunanya menikahkan anak-anak dengan cara paksaan. Sedangkan tidak secara paksa saja kadangkala bisa bubar, apalagi yang kawinnya dipaksa.

Yang ada dikalangan Alwiyyin itu adalah mendidik anak-anak sejak dini agar mereka mengetahui dan mengenal apa itu sayyid, dan siapa itu syarifah, apa itu kufu atau kafa’ah dalam perkawinan. Penyimpanagan yang terjadi dikalangan keluarga Ba’alawi antara lain :

1. Orang tua bergaya moderen (over moderat)
2. Tidak mengetahui makna ahlul bait.
3. Kurang bergaul dalam lingkungan Habaib.
4. Terlanjur menikahkan puterinya dengan selain sayyid.
5. Mendapat informasi dari sumber yang membenci Ba’alawi.
6. Ingin mendapat pembenaran atas tindakannya yang salah.
7. Keakuannya berlebihan (egoisme).
8. Merasa malu mencarikan jodoh untuk puterinya.
9. Dan lain-lain alasan.

Sampai saat ini belum pernah ada keluarga Ba’alawi yang bermadzhab Suni maupun Ahlul Bait yang dalam hal menikahkan anak-anaknya dengan cara yang melawan atau bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan yang berlaku, namun tidak pula meninggalkan prinsip dan aturan-aturan dalam masalah nasab. Selama ini berjalan lancar, antara petugas K.U.A. dan Habaib terjalin sangat baik dan saling pengertian.

Bab 3, Menguraikan lintasan sejarah kehidupan Ba’alawi di Hadhramaut ditandai dengan hijrahnya Imam Ahmad Al-Muhajir beserta keluarga dan pengikutnya dari Irak.

Yang menarik untuk diberi komentar adalah apa yang dinyatakan saudara M.H. Ass. pada halaman 92, dengan hujjah menggunakan ayat QS.2 : 204 dan mengatakan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan Imam Ali k.w. yang mulia. Kami tidak habis pikir bagaimana bisanya menyajikan karangan ceritera penuh kebohongan dengan memakai dalil Al-Qur’an yang suci? sulit dibayangkan dosa yang dibuat dengan sengaja seperti ini. Disatu sisi pembodohan terhadap ummat Islam. Sementara disisi lain berbuat kebohongan dengan dan atas nama Allah SWT Yang Mahasuci.

Supaya M.H. Ass. dan pembantunya ketahui ya!, bahwa QS.2: 204 dan 207, itu diturunkan berkenaan dengan hal apa?. Secara singkat ceriteranya sebagai berikut : Assuddi berkata:

“Ayat 204 ini diturunkan mengenai Al-Akh nas bin Syuraiq Atstsaqafi, ketika datang kepada Nabi Saw, dan menyatakan Islam padahal hatinya bertentangan dengan lahirnya”.

Ibnu Abbas r.a. berkata : “Ayat 204 ini turun ketika orang-orang munafiq membicarakan Khubaib dan kawan-kawannya ditempat Arraji, sehingga Allah memuji mereka dalam ayat 207 ini. Penjelasan lebih lanjut hendaknya M.H. Ass. dan pembantu-pembantunya periksa lebih dahulu dengan teliti kitab-kitab tafsir, sebab apabila kami turunkan tulisannya semua disini selain terlalu panjang, juga terlalu mudah mengajari anda dkk. Yang jelas kedua ayat-ayat tersebut banyak berceritera tentang kekafiran dan kemunafikan orang kafir dan orang munafik, maka siapa yang mengikutinya niscaya mereka ikut pula menjadi kafir atau munafik.

Pada halaman 133, maka komentarnya adalah; Bagaimana mungkin keterangan-keterangan dari orang-orang kafir seperti Van den Berg atau Snouch Hurgronje atau lainnya itu kita pergunakan sebagai hujjah? Selain kejujuran mereka sangat diragukan, lagi pula apakah anda kekurangan sumber lain yang lebih baik? Apalagi keterangan mereka berkaitan dengan para tokoh dan ‘Ulama Habaib yang mereka benci? Dan juga apakah mereka mampu memberi gambaran spiritual para ‘Ulama Habaib pada zaman itu? Yang jelas sudah pasti mereka akan membuat pernyataan-pernyataan yang mendiskreditkan dan mencemarkan nama baik tokoh-tokoh dan ‘Ulama Habaib yang mulia itu bukan?, karena kebencian yang ada didalam dada mereka itu lebih dahsyat daripada yang mereka perlihatkan pada dhahirnya (secara lahiriah) mereka. Anda lihat sendiri bukan? Siapa yang mempercayai mereka itu yang dengan zalimnya menuduh tokah Habaib yang mulia seperti Habib Utsman bin Yahya, apalagi Habib Husein bin Abubakar Alaydrus (Waliyullah) sebagai “Ulama mata duitan? Siapa di Batavia kala itu yang akan percaya propaganda dan fitnah mereka?, mungkin tuan M.H.Ass. dkk boleh percaya tetapi kaum Muslim sejati tidak akan pernah dapat dikelabui oleh fitnahan kaum kuffar yang licik – harap diingat itu.

Apabila anda ingin mengenal siapa mereka (para Auliya Allah), cobalah anda periksa Al-Qur’an khususnya QS.10 : 62-64, lalu carilah penjelasan ayat-ayat itu dari sumber yang bersih, karena pada (keterangan) itu mengandung ilmu Agama yang banyak dan luas sekali.

Sengaja tidak saya turunkan penjelasan itu disini, dengan tujuan supaya anda bisa mandiri, tidak didikte orang lain yang dengki lagi jahil.

Pada halaman 143-151, Anda menulis pula tentang Jamiat Kheir, dan Ahmad Surkati guru Agama Islam dari Sudan. Bagaimana tuan M.H.Ass dkk. Menjadikan Surkati sebagai tokoh teladan yang hebat disatu sisi, serta pendeskreditan ‘Ulama dan tokoh Habaib pada sisi yang lain. Seakan-akan anda paling tahu kiprahnya Surkati, bisa menjadikan anda melebihi Van den Berg dan Snouch Hurgronje.- Ceriteranya begini :

Sebenarnya Ahmad Surkati itu adalah seorang guru Agama –Madrasah, bukanlah datang sendiri ke Indonesia – Jakarta atau diundang. Melainkan diajak oleh salah seorang pimpinan Jamiat Kheir kala itu yakni Habib Muhammad bin Abdullah Al-Masyhur, ketika mereka bertemu di Mekah. Habib Muhammad Al-Masyhur lalu mengajak Surkati ke Indonesia untuk diperbantukan sebagai guru Agama di Jamiat Kheir Jakarta. Hal ini bukan karena Jamiat Kheir kekurangan guru, tetapi Habib Muhammad bermaksud menjadikan Surkati lebih maju dan berkembang.

Siapa nyana, siapa sangka, setelah beberapa lama ikut di Jamiat Kheir rupanya secara diam-diam Ahmad Surkati ini sangat cemburu karena menyaksikan bahwa kedudukan para ‘Ulama Habaib di Jakarta (Indonesia) yang sangaat dihormati dan dimuliakan. Singkatnya A.Surkati lalu hengkang dari Jamiat Kheir lalu mendirikan Pendidikan Al-Irsyad, kemudian menjadi sebuah Yayasan yang begerak dibidang Pendidikan Islam dan Sosial Kemasyarakatan sebagaimana pendahulunya Jamiat kheir.

Kalau ditanya soal kebencian Surkati kepada Habaib, sudah tidak ada takarannya. Ini terbukti sampai-sampai A.D & A.R.T. Yayasan Al-Irsyad ditulis dengan jelas keturunan Ba’alawi tidak boleh dimaksukkan jadi pengurus yayasan Al-Irsyad. Kebencian itu ditumbuh kembangkan melalui fatwa-fatwa agama yang sering beliau keluarkan. Diantara fatwanya yang menyerang Habaib itu bahwa syarifah boleh dikawini siapa saja sekalipun orang Cina katanya. Pandangan orang ketika itu Cina indentik dengan Majusi, jadi secara explisit sebenarnya Syarifah itu tidaklah berharaga lebih dari Majusi. Jadi pada pokoknya fatwanya itu bertujuan menghina Ahlul Bait Nabi Saw.

Ceritera yang tuan M.H.Ass. buat, bahwa Pak Ahmad Surkati bermaksud baik mau menolong seorang Syarifah yang hidup seatap dengan orang Cina. Itu adalah sebuah dusta besar. Apakah anda tidak menangkap maksudnya kalimat itu? Sebenarnya dengan kata-kata itu secara halus beliau mengumumkan kepada khalayak ramai….. nih lihat ada seorang Syarifah tinggal seatap dengan orang Cina !!!. Begitu sebenarnya tujuannya. Mengapa demikian?; Sebab :

  1. Dia – Ahmad Surkati sudah sering mengeluarkan fatwa-fatwa serupa, yakni bahwa seorang Syarifah tidaklah perlu dimuliakan karena ia bisa dikawini sipa saja, sekalipun orang Cina.
  2. Beliau tidak pernah menunjukkan sifat persaudaraan sebagai sesama Muslim kepada kelompok Habaib (Ba’alawi).
  3. Ceritera diatas tadi mengandung dua sasaran yaitu secara strategis martabat Habaib dihancur luluhkan, dan secara politis ia bermaksud mendapatkan sebuah pujian umum bahwa beliau orang baik dan mau menyelamatkan seorang Syarifah (kejadiannya kira-kira di sekitar 1913).
  4. Pada tahun 1920 saja, orang-orang keturunan Arab (Alawiyyin) di kota Solo masih dapat dihitung dengan jari, lagi pula kedudukan mereka (syarifah) pada ketika itu sangatlah terpelihara dan terjaga dengan baik.

Menurut sebuah riwayat yang kami terima langsung dari sumber yang sangat dipercaya yakni ceritera dari Habib Muhammad bin Salim Alhabsy di kota Bogor, beliau berceritera kepada saya mengenai Ahmad Surkati, waktu itu sekitar tahun 1986. Habib Muhammad berkata; “Setelah untuk yang kesekian kalinya orang datang melapor ke Jamiat Kheir mengenai fatwa-fatwa Ahmad Surkati yang selain tendensius dan sumir, maka yang paling menyakitkan adalah pernyatan-pernyataannya yang menjurus kepada penghinaan terhadap kalangan Ba’alawi, terutama diseputar masalah perkawinan dilingkungan keluarga ‘Alawi dengan prinsip kufu pada nasab Ahlul Bait. Fatwa-fatwa seperti itu kadang menimbulkan kemarahan masyarakat Islam yang sangat mencintai Habaib, terutama dikalangan ‘Ulama bekas murid-murid mereka.

Namun untuk kesekian kalinya pula mereka disabar-sabarkan oleh tokoh-tokoh Alawiyyin Jamiat Kheir ketika itu, dengan nasihat-nasihat yang menyejukkan hati.

Namun pada suatu ketika karena pengaduan yang datang bertubi-tubi seperti itu, serta telah mencapai klimaksnya, maka berkatalah Habib Muhammad bin Abdullah Al-Masyhur dengan singkat; “Soal Ahmad Surkati saya sudah tahu semuanya, kalian tidak perlu mengadukan dia kepadaku lagi. Kamu sekalian tunggu nanti akan muncul kebenaran dari Allah. Perhatikanlah Ahmad Surkati itu nanti matinya dijamban (w.c.)”. Habib Muhammad Alhabsy melanjutkan ceriteranya, bahwa beberapa lama kemudian dijumpai kenyataan bicaranya Habib Muhammad Almsyhur itu, dimana Ahmad Surkati ditemukan matinya dijamban (w.c)”. Demikianlah ceritera mengenai Ahmad Surkati yang kami ketahui dari Habib Muhammad Alhabsy dan beliau masih hidup sampai sekarang. Ceritera ini juga dibenarkan oleh tokoh-tokoh Jamiat Kheir yang sezaman dengan Habib Muhammad Almasyhur dan Surkati sendiri. Anda boleh datang kesana dan mengecek ulang (check & recheck?).

Ceritera & kisah ini ditulis disini semata-mata sebagai respon atas klaim saudara M.H. Ass. sendiri yang mengangkat topik ini. Sedikitpun tidak ada niatan kami untuk mengecilkan Ustadz Ahmad Surkati, tetapi semata-mata mengemukakan sebuah kisah hidup yang berhubunagan dengan beliau, karena anda sendiri yang menghendakinya. Bahkan kebiasaan kita (Ba’alawi) selalu mendo’akan yang baik-baik bagi saudara kita sesama Muslim agar senantiasa didalam Rahmat Allah SWT, apalagi bagi mereka yang sudah meninggal dunia. Sekalipun orang itu semasa hidupnya menyakiti kita, sebab persoalan sekarang adalah bahwa ia (almarhum) akan dibalas Allah sesuai amal-amal perbuatan masing-masing orang. Begitulah orang tua dan guru-guru kami dari kalangan Alawiyyin mengajari kami, dan begitu pula kami mengajari anak-anak kami. Kalaupun didalam kata-kata yang dipandang agak kasar seperti tulisan ini, itu semata-mata mengikuti gaya tulisan dan kata-kata pembicara atau penulis yang menjadi mitra bicaranya. Bukankah kata-kata, bodoh, jahil atau zalim, sombong atau angkuh itu adalah bahasa Al-Qur’an yang dapat kita pergunakan dengan sesuai dan tepat menurut kasusnya?.

Ketahuilah bahwa sebuah kemuliaan pemberian Allah tidak akan sanggup dipudarkan oleh hinaan manusia sekalipun bersekutu manusia didunia ini.

Begitu pula sebaliknya sebuah kehinaan yang telah ditetapkan Allah, tidak akan mampu manusia merubahnya menjadi mulia sekalipun untuk maksud itu manusia didunia ini bersekutu.

Pada halaman 168-176, tulisan Saudara M.H.Ass. berisikan sebuah celaan dan cercaan atas cara hidup kaum wanita ‘Alawi yang katanya hidup mereka dikurung dan dipingit, serta hanya diajarkan membaca Al-Qur’an dan Maulid. Pada hakekatnya pembicaraan seperti ini dimaksudkan sebagai sebuah koreksi terhadap orang tua kaum Alawiyyin dimasa itu, yang dipandang oleh sementara pihak sebagai sebuah kekangan yang berlebih-lebihan terhadap anak-anak wanita mereka (syarifah). Apakah sikap dan pola hidup kalangan Alawiyyin itu salah?. Jawabnya kalau diukur dengan pikiran-pikiran kaum moderat, kemungkinan ada benarnya. Tetapi apabila tolak ukurnya, manusia sebagai hamba Allah dan keluarga itu sebagi amanah, maka jawabannya adalah tiiidaaak, mengapa?:

Pertama; Tindakan orang tua dari kalangan Ba’alawi pada masa itu justru harus ditiru dan dicontohi oleh generasi kini. Mengapa?, bayangkan kehidupan dikala itu (sebelum Indonesia merdeka) pendidikan yang ada hanyalah pendidikan milik kaum penjajah (Belanda). Selain kesempatan sekolah disitu sangat sulit, juga tidaklah pantas bagi wanita Muslimah apalagi Syarifah. Apa sih yang dicari dari sekolah itu bagi kaum syaraif?.

Kedua; Manakah yang paling utama bagi seorang Muslimah, belajar membaca Al-Qur’an dan pengetahuan Agama Islam ataukah belajar pelajaran yang umum disekola-sekolah kaum kuffar?. Apakah kaum wanita Muslimin dikala itu mempunyai target tertentu untuk mencapai pendidikan Belanda, kemudian melalaikan pendidikan Agamanya?. Ataukah hembusan angin surga emansipasi kaum wanita kala itu menjanjikan keadaan yang lebih baik bagi kaum wanita khususnya syrifah?.

Ketiga; Apakah mereka (syarifah) yang kala itu ditahan dirumahnya untuk mempelajari Al-Qur’an dan ilmu Agama Islam mengikuti perintah Allah itu dipandang lebih hina dari yang belajar ilmu umum kepada kaum kuffar?.
Apakah kita yang hidup pada zaman ini telah lebih berhasil mendidik anak-anak kita dibidang Agama Islam? Seharusnya kita malu kepada generasi tua (Alawiyyin) kita, sebab ternyata mereka lebih berhasil mendidik anak-anaknya dibidang Agama dibanding kita sekarang ini.

Keempat; Keberhasilan orang tua (Ba’alawi) kita didalam mendidik puteri-puteri (syaraif) mereka, menjadikan anak-anak mereka berhasil mencapai dan meraih kebahagian dunia dan serta kemuliaan akhiratnya.

Karena dengan pola dan metode mereka dalam melaksanakan fungsi kehambaannya kepada Allah mencapai kualitas tertinggi. Perhatikan QS. 33 : 33-34) Yang arti lengkapnya:

Hendaklah kamu tetap dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan dirikan shalat, tunaikan zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sessungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan (mensucikan) kamu sebersih-bersihnya.
Dan ingatlah apa yang dibaca di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu). Sessungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui. (QS.33:33,34)

Untuk mendapatkan penjelasan yang komprehensif atas ayat-ayat diatas hendaknya anda cari dalam salah satu dari beberapa kitab tafsir yang ada. Itulah cara yang terbaik bagi anda bila ingin bertanggung jawab kepada Allah dan Rasul-Nya serta kepada makhluk-Nya seperti yang tuan M.H. Ass. maksudkan didalam kata pengantar bukunya itu.

Kelima; Marilah kita berbicara jujur pada diri kita masing-masing apakah kita lebih berhasil didalam mendidik anak-anak kita terutama kaum wanitanya (syaraif)?, karena kita konon lebih moderen dan maju dalam berfikir.? Ataukah kita yang gagal?, dan orang tua kita yang lebih berhasil karena menggunakan metode Al-Qur’an yang menurut ukuran M.H.Ass. adalah kolot dan kuno?. Apakah anda lebih berhasil dari mereka?. Sudahkah kita siapkan dengan baik sebuah biduk rumah tangga yang kokoh, ketika kita memgarungi samudera kihidupan yang konon sangat luas tak bertepi ini?.

Karena kita pada suatu saat akan sendirian, sehingga membutuhkan ketermpilan yang cukup agar mampu mengambil keputusan yang benar, serta pandai menentukan arah yang tepat, guna mencapai tujuan dengan selamat sejahtera lahir dan batin. Kalau pola hidup orang tua kita lebih benar dan berhasil meliputi aspek duniawi dan ukhrawi, maka mengapa pula kita harus mencela mereka?. Mereka ternyata sangat berhasil ketika mengarungi smudera kehidupan, dan selamat menjelajahi belantara hutan dunia. Hanyalah orang-orang picik yang malu meneladani mereka yang baik lagi mulia itulah yang terperosok kedalam bala bencana yang menghinakan baik didunia maupun diakhirat.

Ketika anda berbicara mengenai Husain Haikal yang melukis suara hati didalam surat, atau tesis, atau apapun namanya, itu tidak lain hanyalah gambaran sebuah suara jeritan anak manusia. Biasanya keberhasilan apalagi kegagalan seorang anak manusia, lazimnya kegembiraan atau kekecewaannya disalurkan melalui bahasa-bahasa jiwa yang berbeda-beda pula. Tidak ada sesuatu yang istimewa disana, karena begitulah umumnya sifat-sifat manusia.

Apabila kita berbicara masalah Kafa’ah dalam kalangan ahlul bait Rasulullah Saw. berarti kita memasuki wilayah Rasulullah Saw, yang berarti pula kita memasuki wilayah Allah SWT.Karenanya membutuhkan kejujuran, kerendahan hati serta kecermatan, akhlak dan ilmu yang cukup. Orang yang memasuki wilayah ini hanya ada dua kemungkinan. Yaitu pembicaranya akan menjadi “mulia” atau akan menjadi “hina”. Kalau kita tidak pernah dapat menerima nasihat-nasihat orang pilihan dizamannya, yang mereka itu redha kepada Allah dan Allah-pun redha kepada mereka. Maka jangan sekali-kali anda mencoba menasihati orang lain, karena anda hanya berbicara dengan dalil dan nash yang diperoleh dari sumber yang serba sedikit, kabur dan sangat lemah karena anda mengabaikan hak-hak Allah, walaupun anda berbicara atas nama Allah dan Rasul-Nya. Mungkin ada sebahagian manusia yang karena keawamannya dalam ilmu Agama Islam dapat dengan mudah dikelabui dengan kata-kata dan kalimat yang memikat. Tetapi yang harus diingat adalah, bahwasanya anda sama sekali tidak akan mampu mengelabui Allah dan Rasul-Nya, itu sebuah kepastian.

Pada Bab 4- Kaum Sayyid;
Apabila kita teliti isi bab ini dengan cermat, maka hasilnya akan membawa kita kepada pertentangan yang sangat tajam. Betapa tidak, pada bab 4 ini saudara M.H. Ass. berbicara mengenai keunggulan dan kemuliaan Nasab Ahlul Bait Rasulullah Saw. Sehingga isi bab 4 ini menjadi bertentangan dengan isi tulisan pada bab-bab yang sebelumnya. Menjadikan buku ini “Derita Putri Putri Nabi” sangat membingungkan. Buku ini selain membingungkan, juga ia sangat melecehkan kaum Alawiyyin – padahal menurut pengakuannya sendiri, bahwa penulisnya berasal dari kalangan ini juga. Aneh, tetapi itulah sebuah kenyataan.

Pada halaman 182 – 194.
Pembicaraannya disini mengitari matahari Keutamaan Keluarga Rasulullah Saw dengan nash Al-Qur’an yakni QS. 3: 59 , 61 serta QS. 33 : 33. Juga QS. 42 : 23.

Dalil hadits yang dikemukan disini antara lain mengenai pernyataan Nabi Saw. bahwa ; “Keturunannya (Nabi Saw) melalui Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Fathimah, serta anak cucunya dari Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain”.

Dikemukakan juga Hadits Al-Kisa’ – yakni pernyataan Nabi Saw bahwa yang dimaksud dengan Ahlul Bait pada QS. 33 : 33 adalah Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Anak cucu Rasulullah yang laki-laki disebut Sayyid atau Syarif dan yang perempuan adalah Sayyidah atau Syarifah. Semua anak cucu Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain yang laki-laki maupun perempuan adalah Dzurriyat Nabi Saw. Sampai disini semuanya benar.

Yang tidak benar adalah: Pernyataan M.H.Ass. bahwa anak-anak perempuan(para Syarifah) yang melahirkan anak dari suami yang bukan Sayyid juga termasuk dzurriyat, yang berarti bernasab juga kepada Rasulullah Saw, adalah keliru dan tidak benar. Pengertian seperti ini tidak ada nash-nya, hal ini telah kami jelaskan sebelumnya (periksa kembali halaman sebelumnya dengan judul “Pembukaan” No. 3)

Yang benar adalah : “Bahwasanya anak perempuan yang benasabkan kepada ayahnya yang Sayyid ia adalah Syarifah dan termasuk dzurriyat Rasulullah Saw. Tetapi seorang Syarifah yang melahirkan anak dari hasil perkawinannya dengan pria bukan Sayyid, maka anak tersebut benasab kepada ayahnya, maka ia bukan seorang Sayyid atau Syarifah. Oleh karenanya ia tidak termasuk Dzurriyat Rasulullah Saw. Adapun yang menyatakan bahwa anak dari seorang Syarifah yang bersuamikan pria bukan Sayyid bisa mengikuti nasab ibunya adalah tidak benar dan melanggar Syari’at Islam, karena anak itu tidak memakai nasab ayahnya. Perhatikan !!. Hanya anak hasil perbuatan zina yang bernasab kepada ibunya. Tidak patut disamakan dengan kasus Nabi Isa a.s, karena ia bersifat khusus dari Allah Swt.

Terdapat didalam isi khotbah Nabi Saw pada Hajil Wada’ dipadang ‘Arafah yang berbunyi sebagai berikut : “Hai sekalian manusia! Sesungguhnya Allah telah bagikan bagi tiap-tiap warits bagian masing-masing dari harta pusaka dst……….. sampai pada kalimat; “Barang siapa memanggil (menyatakan sebagai) Ayah / Bapak kepada (seseorang} yang bukan Ayahnya / Bapaknya sendiri atau mengaku (menyatakan sebagai) tuan kepada seseorang yang bukan maulanya, maka atasnya adalah la’nat dari Allah, Malaikat dan manusia kesemuanya, tak diterima dari dia pergantian dan tak diterima tebusan; Dan mudah-mudahan bercucuranlah Rahmat Allah dan berkatnya atas kamu.

Oleh karena itulah telah kami katakan sebelumnya bahwa tulisan kami ini bertujuan meluruskan yang bengkok, mengingatkan yang keliru dan salah. Tidak ada pretensi apapun apalagi dengan maksud berdebat itu semuanya tiada berguna. M.H.Ass. adalah saudara saya juga. Yang saya takutkan adalah jangan sampai orang mengikuti jalan anda yang keliru. Bukankah Nabi Saw, telah bersabda ; “Barang siapa membuat (mengadakan) satu sunnah yang baik kemudian diikuti oleh orang banyak, maka ia mendapat pahala sebanyak orang yang mengikuti itu, tanpa dikurangi pahala mereka masing-masing. Sebaliknya barang siapa yang membuat (mengadakan) satu sunnah yang tidak baik (jahat-buruk}, dan kemudian diikuti oleh orang banyak, maka ia memikul dosa sebanyak orang yang mengikutinya itu tanpa dikurangi dosa mereka masing-masing”. (H.R. Bukhari , Muslim)

Sebenarnya saya segan menulis telaah atas buku M.H. Ass itu, karena saya juga sedang mempersiapkan penerbitan buku saya sendiri yang saat ini naskahnya saya minta diperiksa oleh salah sorang Doktor pada bidang Agama Islam pada salah satu Universitas. Namun guna memenuhi permintaan saudara-saudara kita juga, maka tulisan ini, nanti akan digabung dengan tulisan dari saudara kita yang lain yang akan disajikan berupa sebuah buku - “Bunga Rampai” sebagai klarifikasi atas buku anda itu.

Yang dimaksudkan dengan pemutusan hubungan kekerabatan itu adalah, bahwa bagi seorang syarifah yang kawin keluar, artinya menikah dengan pria bukan sayyid, jelaslah keturunannya tidak masuk kepada aal Muhammad, karena ayah anak itu bukan aal Muhammad. (Perhatikan Khotbah Nabi Saw.seperti tersebut diatas – banyak buku-buku Agama Islam yang merekam isi khotbah itu secara lengkap – carilah kalau anda belum punya).

Apabila terminologi nasabiyah itu mengikuti jalan pikiran saudara M.H. Ass. yakni anak dari seorang syarifah yang ayahnya bukan sayyid tetap mengambil nasab pada jalur nasab ibunya bisa diterima maka ; Yang pertama ; “Tentu saja tidak akan ada pelarangan atau pencegahan atau pencekalan kepada syarifah. Tetapi oleh karena perkawinan semacam itu memutuskan hubungan dzurriyat maka dicegah sebisa dan semampu kita. Perhatikan uraian saya sebelumnya (kalau mau), mengenai untung ruginya pemutusan nasab atau nasab yang terputus itu”.(Tidak lagi termasuk dzurriyat Rasulullah Saw.).

Dan Yang kedua; “Dengan begitu berarti secara sadar kita telah berani melegalisir subuah dosa besar karena anak itu kita biarkan tidak menggunakan nama dan nasab ayahnya sendiri, tetapi menunggangi nasab ibunya dengan secara paksa. Menurut sabda Nabi Saw pada khotbah di ‘Arafah yang tersebut diatas tadi, maka hanya ada laknat dari Allah, malaikat dan manusia semuanya keatas dirinya.serta tidak ada tebusan baginya.

Pada Bab 5, halaman 271 –
Bahwa Nabi Saw. menikahkan puterinya Rugayyah dan Ummu Kultsum kepada Utsman bin Affan. Hal yang demikian ini tidaklah pantas dijadikan hujjah atas masalah kafa’ah. Disini masalahnya sangat berlainan dengan masalah kafa’ah pada syarifah.

Mengapa demikian? Karena Nabi Saw, sudah dengan tegas menyatakan bahwa keturunannya melalui Sayyidina Ali dan Sayyidatuna Fathimah titik. Selain itu juga Rugayyah dan Ummu Kultsum tidak punya keturunan. Hal ini harus difahami benar-benar lebih dahulu baru anda bicara. Ingat apa kata Sayyidina Ali? Beliau berkata “Kata-kata (bicara) yang masih tertahan artinya belum dikeluarkan. Maka ia akan keluar bersama kotoran, maksudnya tidak berharga. Tetapi apabila kata-kata itu sudah keluar melalui bibir seseorang, maka ia berubah menjadi emas”. Maksudnya kalau kita sudah bicara maka itu menjadi pegangan orang yang mendengar. Jadi sulit ditarik kembali. Begitu pula tulisan, kalau orang sudah baca, dan pembacanya pun tersebar dimana-mana, tentu sangat sulit anda menjangkau mereka. Apalagi mengingat anjuran anda yang keliru tetapi sudah dilakukan orang. Bagaimana anda membayangkan susahnya anda bertanggung jawab baik kepada manusia apalagi kepada Allah dan Rasul-Nya?. Terus terang saja saya sangat mengasihani anda sekalipun anda tidak menghendakinya. Karena saya tidak sanggup membayangkan kesulitan apa yang menghadang anda ketika menghapi masa-masa akhir hayat anda. Tanpa sadar anda telah memasang ranjau dan bom waktu bagi diri anda sendiri. Ini bukan menakut-nakuti tetapi karena saya punya banyak pengalaman melihat tokoh agama yang berbuat salah namun tidak separah yang anda lakukan itu, toh mereka mengakhiri hidupnya dengan sangat buruk. Salah satu kisahnya sudah saya kemukakan dihalaman sebelumnya.

Untuk halaman 272,
Dapat kami beri komentar sebagai berikut: “Setiap orang dari kalangan Allawiyyin harus dihormati hak asasinya masing-masing”. Sehingga mereka bebas menentukan apakah anak-anak perempuan mereka hendak dikawinkan kepada pria yang manapun apakah Sayyid atau bukan Sayyid terserah kepada kerelaan mereka dan puteri mereka, karena mereka sendiri yang akan bertanggung jawab atas perbuatannya itu. Karena mereka sudah tahu tugas dan kewajibannya. Namun begitu mereka semua sadar bahwa Syarifah yang dikawinkan kepada seorang Sayyid itu jauh lebih sempurna, karena tidak merusak atau memutuskan dzurriyat (nasab kepada Rasulullah Saw), seperti kalau ia (Syarifah) itu dikawinkan kepada pria bukan Sayyid.

Mengenai adanya fatwa-fatwa “Para ‘Ulama” seperti apa yang dilakukan Ahmad Surkati atau lainnya tidak ada masalah, itu bukan hal yang mengganggu, boleh diikuti siapa yang mau mengikuti, dan boleh pula menolak siapa ingin menolaknya.

Sementara tulisan yang ada pada halaman 273 – 281, Komentarnya; Sebenarnya semua telah jelas. Bahwa terdapat banyak ‘Ulama-‘Ulama besar baik dari kalangan selain Ba’alawi, maupun dari kalangan Alawiyyin sendiri (Ahlul Bait Nabi Saw.). Mereka telah menulis sedemikian banyaknya kitab-kitab atau buku-buku yang menerangkan panjang lebar mengenai masalah kafa’ah didalam lingkungan keluarga Ahlul Bait Nabi Saw. sebagai pelajaran dan pedoman – panduan. Kitab atau buku mereka disertai penjelasan-penjelasan sesuai nash Al-Qur’an dan Hadits-Hadits yang shahih serta pandangan-pandangan para Sahabat Nabi Saw. sampai pendapat dan pandangan ‘Ulama-‘Ulama Salaf maupun Kahlaf. Sekarang terserah kepada kita, generasi kemudian apakah mau mengikuti jalan mereka, atau hendak mengikuti jalan selain mereka.

Pada halaman 282 – 283,
Mengenai kebanggaan Nasab. Ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits yang disampaikan memang sudah benar dan tidak ada salahnya. Tetapi itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Nasab Nabi Saw. Haruslah diingat, bahwa orang yang menjaga kesucian Nasabnya tidak harus diartikan membanggakan diri. Kalau anda berasal dari Nasab yang dimuliakan dan disucikan Allah (QS.33:33), lalu anda menjaganya, hal itu bukan berarti anda membanggakan diri. Tetapi itu artinya anda mensyukurinya dengan cara menjaga, melindungi serta memeliharanya.

Mengenai QS. 49 : 10, 13, Ayat-ayat ini tidak berada didalam koridor QS. 33 : 33. Karena kasusnya lain. Ayat 10, berbicara mengenai tata cara mendamaikan kaum muslimin yang bertengkar, bekelahi atau berperang, karena sesungguhnya kaum muslimin itu bersaudara. Bersaudara karena se-Agama, se Iman, dan se-Aqidah. Sehingga ketika Sahabat Anas r.a bertanya : “Ya Rasulullah, ini aku menolongnya dalam keadaan ia dizalimi, maka bagaimana aku menolongnya dalam keadaan ia zalim?”. Rasulullah menjawab; “Dengan mencegahnya berbuat kezaliman”. Ayat ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah kafa’ah yang menjadi topik buku saudara M.H. Ass. itu.

Perihal ayat 13, Sebenarnya sudah sangat terlalu jelas. Dan lagi tidak ada hubungannya dengan masalah kafa’ah. Sesungguhnya ayat ini berbicara mengenai penciptaan manusia yang brasal dari seorang laki-laki dan seorang perempuan (yakni Adam dan Hawa a.s}, kemudian menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sessungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Mengenai pengertian ayat ini sudah kami terangkan pula secara panjang lebar (periksa penjelasan koreksi kami untuk buku anda halaman 18}. Tetapi tidak ada salahnya kami menjelaskan sekali lagi agar lebih jelas serta mudah difahami. Didalam ayat tersebut sudah jelas dan gamblang bahwa semua manusia berasal dari sepasang manusia pertama yakni Adam a.s. dan Siti Hawa a.s. Orang Arab tidak lebih utama dari Ajam (selain Arab), begitu juga warna kulit merah atau hitam, semuanya sama-sama manusia. Tidak ada yang lebih utama antara satu dengan yang lain. Dalam hal apa?.

Ternyata sebagai makhluk manusia, mereka itu mempunyai kewajiban dan fungsi kehambaan yang sama terhadap Allah. Sehingga nanti ketika manusia kembali menghadap kepada Allah, maka yang termulia diantara hamba-hamba-Nya itu adalah bagi orang yang lebih takwa kepada Allah. Ini tercermin dari beberapa sabda Rasulullah Saw. yang antara lain :

Pertama ; “Sesungguhnya Allah tidak akan melihat bentuk-bentuk tubuhmu, dan harta kamu akan tetapi melihat isi hatimu dan amal-amalmu” (HR.Muslim dar Abu Hurairah)

Kedua; “Semua orang muslim adalah saudara, tiada kelebihan seseorang terhadap yang lain, melainkan dengan takwa kepada Allah”. (H.R.Abul-Qasim Khirasy r.a.)

Ketiga; “Kamu semua adalah anak Adam, dan Adam diciptakan dari tanah, maka hendaklah kaum yang selalu membangga-banggakan nenek moyangnya menghentikan aksinya itu atau mereka menjadi lebih hina dihadapan Allah daripada seekor kepik” (kecoak?). (H.R. Abubakar Albazzar dari Hudzaifah r.a.).

Perhatikanlah semua Hadits diatas tadi adalah penjelasan ahli tafsir ketika menafsirkan Surat Al-Hujurat : 13 {QS.49:13}. Ketiga Hadits diatas tadi berbicara mengenai fungsi kehambaan manusia sebagai makhluk terhadap Allah SWT, semasa hidup didunia yang fana ini. Dan ketika dikembalikan kepada Allah yakni pada hari perhitungan atau hisab. Maka semua kelebihan apapun yang dikaruniakan Allah kepada manusia semasa hidupnya di dunia itu, tidak di persoalkan oleh-Nya. Yang menjadi pokok sorotan dan penilaian Allah adalah takwa. Maka siapa yang paling bertakwa kepada Allah ketika di dunia, niscaya ialah yang paling mulia disisi Allah. Kelebihan derajat antara manusia yang satu terhadap yang lainnya tidak boleh diabaikan begitu saja. Mengapa demikian?, karena kelebihan seseorang terhadap orang yang lain adalah pemberian dan karunia dari Allah juga bukan?.

Saya berani katakan irislah kuping saya ini, kalau ada orang yang waras mau diperlakukan sama dengan orang gila. Atau Orang kaya dengan gelandangan?. Atau seorang Raja mau diperlalukan sama dengan tukang kebun istana?. Seorang Menteri apakah mau di samakan dengan supirnya?. Apakah Saudara M.H. Ass. mau disamakan derajatnya dengan seorang narapidana? Apakah seorang Engineer mau diperlakukan sama derajatnya dengan seorang kuli bangunan? Dan banyak lagi, dalam hal tidak mau diperlakukan sama seperti yang dimaksud itu, tidak cuma oleh orang yang tinggi kedudukannya, tetapi orang yang kecil kedudukannya pun tidak mau diperlakukan sama seperti itu, karena ia sendiri merasa tidak pantas. Termasuk Habaib, bukan dia saja yang tidak mau dibilang sama dengan yang bukan Habaib, tetapi mereka yang bukan Habaib juga tidak mau disamakan derajatnya dengan Habaib. Itulah gambaran apa yang terjadi pada manusia normal. Mereka sangat menghargai karunia Allah, dan ketentuan Allah seperti itu diterima dengan rasa syukur kepada-Nya.

Contohnya seperti yang dilakukan oleh salah seorang tokoh central para Habaib yakni Imam Ali Zainal ‘Abidin. Ketika ia sujud kepada Allah di Baitullah, ia berbisik kepada Allah dalam sujudnya itu, “Ya Allah kalau kami berbuat kesalahan dan dosa, itu bukan karena kami tidak mengetahui ancaman-Mu Ya Allah, dan bukan pula karena kami tidak takut kepada-Mu Ya Allah.

Semua itu terjadi karena kami tidak mampu mengendalikan hawa nafsu sendiri. Wahai Allah! Pada saat semua manusia digiring kepada-Mu melintasi jembatan Shirathal Mustaqim. Kala itu ada orang yang melintasinya dengan cepat laksana kilat menyambar. Adapula yang berlari dengan sangat kencang.

Adapula orang melintasinya dengan berjalan. Tetapi ada juga orang yang merangkak ketika melintasinya. Tidak sedikit pula orang-orang yang tejatuh, ketika melintasinya. Dan bahkan banyak sekali orang yang tertahan tidak dapat melintasinya. Wahai Allah! Bagaimana dengan aku ini? apakah aku termasuk pada kelompok orang yang cepat melintas, atau yang tertahan Ya Allah!, lalu iapun menangis terisak, tersedu-sedu didalam sujudnya itu. Sehingga menangis pula seorang muridnya benama Thaus yang sejak tadi terpaku menyaksikan dan mendengarkan permohonan sang Imam didalam sujudnya tadi. Ketika telah rampung shalatnya, maka berkata muridnya Thaus. Wahai ibni Rasul (Wahai Putera Rasul) begitulah beliau biasa dipanggil, kalaulah orang seperti tuan sampai begitu risau hati bermohon kepada Allah padahal datuk tuan adalah Muhammad utusan Allah, bagaimana pulakah dengan kami ini? Kata Thaus sambil berurai air mata. Sang Imampun menjawab; “Wahai Thaus, ketahuilah aku sangat malu bertemu datukku Muhammad bin Abdillah, aku sangat malu apabila orang-orng dari ummatnya datang menghadap Allah dengan setumpuk amal ibadah yang baik-baik, sementara aku ini ya Thaus datang mengahadap Allah dengan hanya berbekal Nasabku yang tersambung kepada datukku Muhammad bin Abdillah Saw. Maka iapun menangis dengan tangisan yang mengharukan dan memilukan hati. Thaus-pun tidak dapat lagi menahan airmata turun deras menyirami wajah dan janggutnya.

Orang-orang seperti inikah yang anda namakan keturunan Abdul Muthalib yang dari sulbinya muncul generasi Quraisy yang congkak, angkuh, sombong dan membangga-banggakan diri?. Karena alasan ini pula saya katakan kepada anda diawal bahasan saya ini, bahwa secara sadar anda sendiri telah mengundang bala bencana dan malapetaka yang cepat atau lambat, didunia atau diakhirat pasti akan menimpa diri anda, dipercaya atau tidak, itu urusan anda sendiri. Saya jadi teringat kisah Nabi Musa a.s.

yakni kita Nabi Musa minta kepada Allah untuk menjadi ummat Muhammad Saw. maka Allah menjawab dengan firman-Nya : khuj maa ‘ataituka wakum minassyakiriin – “ambil (terima} saja apa yang telah diberikan kepadamu, dan jadilah kamu orang yang mensyukuri (bersyukur)”

Segala sesuatu yang dikaruniakan Allah kepada kita apakah, harta kekayaan, kekuasaan, pangkat dan jabatan yang tinggi, ilmuan, menjadi ‘Ulama, atau menjadi murid, keturunan bangsawan sampai kepada yang ditakdirkan menjadi Ahlul Bait Nabi Saw, patutlah kita terima sebagai amanah, kita jaga, pelihara dan kita lindungi, serta tidak lupa kita bersyukur kepada Allah seraya bermohon selalu kepadanya supaya kita diberi-Nya kekuatan serta kemampuan supaya dapat menjadi orang yang bertanggung jawab terhadap karunia dan pemberian Allah itu. Begitulah orang tua dan guru-guru saya para Habaib yang mulia mengajari saya.

Sehubungan dengan keterangan-keterangan sebagaimana yang tersebut diatas tadi, maka ketahuilah olehmu wahai kawan dan saudaraku, bahwa ada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi Saw. ada yang bersifat umum, dan ada pula yang bersifat khusus. Saya yakin bukannya anda tidak mengerti tetapi kadang kala hawa nafsu manusia mengalahkan akal sehatnya. Sehingga dengan begitu orang kadang-kadang menulis atau berbicara tidak sesuai dengan hati nuraninya sendiri. Kadang kala orang sadar bahwa ia telah berbuat sesuatu hal yang keliru atau salah, hati nuraninya telah pula menegurnya, tetapi karena hawa nafsu telah menguasi jiwanya sedemikian rupa sehingga ia kehilangan sifat-sifat baik dan mulia yang ada pada dirinya. Maka ia menjadi orang pengecut yang kerdil, tidak mempunyai sedikitpun keberanian untuk mengakui kekeliruan atau kesalahan yang dibuatnya. Jangankan kepada orang lain, terhadap dirinya sendiripun ia tidak mampu lagi bersikap dan berlaku jujur serta adil.

Pada halaman 284 –285,
Saudara M.H. Ass. masih belum bisa membedakan mana pembicaran atau pernyataan-pernyataan yang bersifat umum dan yang khusus. Hal ini terungkap ketika anda mengetengahkan khotbah atau pidato Imam Ali k.w. untuk mendukung analogi yang anda buat, namun anda kurang atau memang tidak faham bahwa kata-kata imam Ali k.w. disitu berisifat umum.

Jadi sangat tidaklah tepat bila anda ingin menggunakannya sebagi hujjah bahwa Imam Ali k.w. begitu membenci orang yang membanggakan nasabnya.Cobalah anda periksa bagaimana bunyi isi surat Imam Ali k.w. kepada Mu’awiyah bin Abi Sofyan. Diantaranya ia Imam Ali berkata: “Pihak kami (Imam Ali dan keturunannya} Yang paling berhutang budi kepada Allah, dan orang selain kami sangat berhutang budi kepada kami. Ini demi menyebutkan nikmat Allah bukan menyombongkan diri”, begitu kata beliau.

Pada bagian lain suratnya itu Imam Ali k.w. berkata : “Putera-putera kami (Al-Hasan & Al-Husain) adalah pemuka ahli surga. Dan putera-puteramu (keturunan Mu’awiyah} adalah pembawa kayu bakar api neraka”. (Periksa Buku Mutiara Nahjul Balaghhah). Sepantasnyalah Nasab Al-Hasan & Al-Husain patut dijaga dan dipelihara oleh dzurriyatnya (anak cucunya).

Jadi sungguh anda harus berusaha (ini bukan sok ngajari) membedakan hal-hal yang bersifat umum dan hal-hal yang sifatnya khusus. Ini sangat penting apalagi buku anda itu tidak hanya menyentuh bahkan bersinggungan dengan masalah-masalah pelik bermuatan hukum syari’. Anda harus juga memikirkan keselamatan orang lain. Jangan sampai ada orang menuai dosa dari buku anda itu, pada hal mungkin anda beniat menabur benih pahala bukan?.

Pada halman 286 & 287,
Sumber beritanya sangat diragukan (dikutip dari Hurgronje}. Sementara itu cobalah memahami pernyataan Muthahhari. Menurut faham saya, yang dimaksud Muthahhari disitu adalah ; “Cinta dan benci hendaknya didasarkan karena Allah semata”.

Halaman 288,
Bebicara mengenai sunnah Allah, tetapi apabila tidak memahami terninologi “Sunnah Allah” itu apa?, adalah pembicaraan yang sia-sia belaka. Adapun mengenai kekecewaan Fathimah (bukan kemurkaan) dalam masalah kafa’ah janganlah dibicarakan tanpa dimengerti. Anda boleh setuju boleh juga tidak setuju. Karena soal yang anda bicarakan ini sebenarnya mengaburkan semuanya yang sudah jelas. “Janganlah menjadi seperti seorang berkaki pincang berada dalam ruangan sebuah pesta manari, tiba-tiba ia berkata ukh.. sayang lantainya miring, kalau tidak saya pun dapat melantai”.

Artinya kita tidak harus memaksa orang lain untuk menyetjui pendapat kita.
Sama pula artinya kita tidaklah perlu dan harus menghalangi orang lain mempercayai sesuatu hal yang kita tidak mengerti atau yang tidak kita sukai. – you go with your own way, and I’ll go by my own way.

Dalam Al-Qur’an ada ayat yang artinya : “Dan kamu beramal dengan amalan kamu, dan kami beramal dengan amalan kami”. (bagi sesama Muslim). Lain halnya bagi orang non Muslim maka “Bagimu Agama-mu. Bagiku Agama-ku”

Kalau mau berbicara mengenai kezaliman dalam hal kafa’ah, maka didalam lingkungan Allawiyyin ada anggapan, bahwa bagi sebahagian keluarga yang dengan kerelaannya sendiri melepaskan puterinya (syarifah) menikah dengan selain sayyid, adalah termasuk orang yang berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Oleh karena itulah maka para Habaib yang berpegang teguh kepada prinsip kafa’ah, ia tidak berani menghadiri acara aqad nikah seperti itu, maupun acara resepsi – pesta perkawinan.

Tetapi ada juga sebahagian Habaib yang agak toleran, ia tidak hadir pada acara aqad nikahnya, tetapi ia masih mau hadir pada acara resepsi. Alasannya ; Hadir pada acara aqad nikah, berarti ikut menyetujui dan menjadi saksi. Oleh karena itu ia menghidarinya. Tetapi pada acara pesta – resepsi, ia masih mau hadir, karena sifatnya ceremonial belaka, toh orang itu sudah nikah, demikian kata mereka.

Jadi sebenarnya seorang Sayyid yang menikahkan dan mengawinkan anak perempuanya (syarifah) dengan seorang pria bukan sayyid, hal itu merupakan hak keluarga yang absolut (absolutely right). Jadi bagi yang tidak mau menghadiri sekalipun diundang, maka itu juga adalah hak mutlak orang yang bersangkutan.

Berikutnya, bagaimana mungkin anak yang lahir dari hasil perkawinan syarifah dengan pria bukan sayyid bisa disebut dzurriyat? Padahal anak itu bila perempuan tidak disebut syarifah, dan bila lelaki dia juga bukan sayyid.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...