IP

Entri Populer

05 November, 2008

KESUCIAN SYARIFAH DALAM GUGATAN (III)


KOREKSI ATAS BUKU “DERITA PUTRI PUTRI NABI”

Pada halaman sebelum “Kata Pengantar” (tanpa nomor halaman) terdapat semacam “Ilustrasi” menggunakan Surah Al-A’raf. (QS. 7 : 156-157). Selain terjemahan ayat-ayat tersebut tidak selengkapnya, ayat-ayat ini apabila dimaksudkan sebagai sebuah referensi umum atas buku tersebut diatas, maka sangatlah tidak tepat lagi keliru. Karena tidak ada kitannya sama sekali dengan Judul Buku.

Ketahuilah bahwa sebenarnya ayat-ayat itu berkaitan dengan Nabi Musa dan kaumnya Bani Israil yang membangkang dan menyembah berhala. Dan Nabi Musa mengumpul 70 orang dari kaumnya untuk mohon tobat kepada Allah. Lebih lanjut lagi Nabi musa melanjutkan do’anya. Dibagian lain adalah penjelasan Allah bahwa sifat dan tanda-tanda ke Nabian Muhammad Saw telah termaktub didalan kitab Taurat dan Injil dan seterusnya. Apabila kisah ini hendak diangkat dalam tulisan, maka ceriteranya harus dimulai dari ayat 148-158. Silahkan periksa kitab-kitab Tafsir Al-Qur’an.

Dari kata pengantar penulis diperoleh kesan :

  1. Penulis sangat mungkin mepunyai pengalaman tersendiri berkaitan dengan masalah perkawinan kufu (kafa’ah) yang tidak menyenangkan hatinya. Apakah itu dari kalangan keluarga dekatnya ataupun keluarga sahabatnya atau alasan lain seperti itu. Dan mungkin sekali Saudara Muhammad H. Ass. ini terlibat secara langsung dengan masalah kafa’ah (kufu) dalam perkawinan yang tidak menyenangkan itu.
  2. Penulis mengemukakan pendapatnya secara emosional yang berlebihan, serta bersifat idividualistis. Namun mencoba berlindung dibalik kalimat “menyadari tanggung jawab kepada Al-Khaliq dan makhluk-Nya” yang tanpa disadari bak pepatah mengatakan menepuk air didulang kepercik muka sendiri.
  3. Buku ini merupakan sebuah upaya keras penulis untuk mempengaruhi pikiran kaum Alawiyyin.Terutama pada kalangan Sayyid dan Syarifah yang muda belia dan awam, sekaligus memberikan (new spirit) atau semangat baru bagi mereka yang mempunyai pengalaman yang sama dengan penulis sendiri.
  4. Penulis tidak jujur ketika mengatakan pendapatnya bahwa tidak ada seorangpun dari kalangan sendiri (Ba’alawi atau Alawiyyin) yang berani mengkaji masalah kafa’ah secara terang-terangan. Demikian penulis memulai tulisannya dengan kesombongan dan kebohongan yang sangat besar. Bukankah telah terdapat banyak kajian mengenai masalah kafa’ah tersebut. Bahkan disajikan dengan indah dan menawan hati, bukan kajian murahan seperti yang dilakukan oleh penulis buku itu.
  5. Penulis mengedepankan teorinya seraya menepuk dada bahwa ia tidak takut dengan apa yang dinamakan tulah, kualat (bala). Dari cara ia menyampaikan kata-kata itu terkesan didalam hati penulis sendiri ada rasa takut dan khawatir atas kemungkinan itu. Namun demikian ketahuilah bahwa anda telah mengundang tulah, kualat atau bencana dan malapetaka keatas diri anda sendiri. Mengapa? Karena secara sadar anda telah mencela begitu banyak orang-orang mulia dari para ‘Alim ‘Ulama Salaf maupun Khalaf yang baik-baik serta para Faqih dizamannya. Tidak itu saja, andapun secara sadar telah menyerang para “Ulama Ba’alawi”. Lebih-lebih lagi secara sadar anda telah berani mengoreksi ucapan dan sabda Nabi Saw yang mulia, yang sepatutnya anda berterima kasih. Percaya atau tidak, itu adalah hak anda sendiri tidak ada yang dirugikan dalam hal ini, kecuali diri anda sendiri.
  6. Seharusnya buku itu diberi judul “Derita Putri Putri Muhammad Hasyim Assagaf” yang demikian itu selain lebih obyetif, juga beresiko rendah. Karena dengan demikian anda tidak melibatkan “Institusi Habaib” (Al-Alawiyyin) secara keseluruhan, yang justru membahayakan diri anda sendiri
  7. Penulis sama sekali tidak menyaadari dirinya bahwa ia menguraikan masalah-masalah yang ia sendiri awam. Celakanya lagi ia telah memasuki dan menggangu Wilayah Kerasulan Muhammad Saw, yang karena itu ia mengganggu pula Wilayah Allah SWT. Dengan ilmu seperti apakah, dan dengan wajah seperti apakah anda menghadapi Nabi-mu Muhammad Saw dan juga Allah Subhanahu Wata‘alaa?
  8. Penulis sedikitpun tidak mempunyai keberanian untuk mengkonsultasikan buku yang ditulisnya dengan seorang tokoh Agama Islam pun sebelum diterbitkan. Ini dapat dilihat, ketika buku ini hadir tanpa pengantar dari seorang ‘Ulama pun juga. Yang demikian sebenarnya memang merupakan ciri-ciri ilmuan yang sombong, angkuh lagi zalim atas dirinya sendiri, tidak patut diikuti.
Bab 1, pada halaman 13, alenea kedua dst. Saudara M.H.Ass.mengukur kualitas keimanan Abdul Muthalib yang berpegang teguh kepada Agama Ibrahim a.s itu, sebagai awal sebuah kesombongan suku Quraisy akan nasabnya. Padahal Abdul Muthalib mmiliki keimanan dan Tauhid kepada Allah yang sangat prima. Lihatlah ketika ia berdo’a kepada Allah untuk melindungi Ka’bah (Baitullah) milik-Nya dari serangan pasukan Abrahah yang hendak menghancurkannya. Ketahuilah seribu orang seperti anda dalam hal ilmu dan Tauhid kepada Allah, niscaya tidak mampu mengungguli seorang Abdul Muthalib. Pernyataan anda yang miris atas Abdul Muthalib itu memberikan sebuah gambaran betapa kurangnya pengetahuan anda mengenai beliau yang mulia itu, sangat disayangkan memang.

Pada halam 18, Terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an ditulis tanpa nama surah dan urutan ayatnya, dan juga tanpa penjelasan yang memadai. Ketahuilah, makna ayat-ayat Allah itu multi dimensional artinya ada makna yang tersurat dan ada pula makna yang tersirat. Yang disebut terakhir ini dapat dicapai dengan menggunakan bantuan dari kitab-kitab Tafsir Al-Qur’an yang ada, yang telah dikenal dan diakui. Hal ini diperlukan agar jangan sampai ayat-ayat Allah yang mulia itu hanya hendak dipergunakan sebagai alat pembenaran terhadap pikiran seseorang saja. Sebab yang demikian itu sangatlah berbahaya tidak saja bagi dirinya sendiri, bahkan juga dapat menyesatkan orang lain. Nabi Saw telah memperingatkan bahwa orang yang menafsirkan ayat-ayat Allah menurut jalan pikirannya sendiri akan membawanya ke neraka jahannam.

Sebagai contoh haruslah diingat bahwa persamaan manusia dihadapan Allah, adalah hal yang jelas dan pasti. Dan bahwa kemuliaan seseorang dimata Allah adalah karena taqwanya kepada Allah, itupun sudah pasti dan telah diketahui secara luas dan umum.

Namun itu tidak berarti karunia Allah sekaligus sebagai amanah kepada seseorang berupa pangkat, harta kekayaan, kekuasaan (Raja atau Presiden), kebangsawanan atau keturunan (Nasab) tidak lantas dinafikan begitu saja. Toh semuanya itu adalah pemberiaan Allah.

Semua orang tahu bahwa asal usul manusia dari Nabi Adam dan Siti Hawa a.s. Tetapi tidak semua orang tahu bahwa dari anak-anak keturunan Nabi Adam a.s. itu ada yang baik dan kemudian menjadi Nabi-Nabi seperti Nabi Syth a.s. Tetapi diantaranya pula ada keturunan orang-orang jahat yang menjadi pembunuh.

Pertanyaannya apakah sama martabat anak-anak keturunan Nabi Adam a.s. itu?, tentu tidak bukan?

Begitu pula orang yang berilmu dan orang yang bodoh tentu berbeda. Orang yang kaya pasti berbeda pula martabatnya dengan orang yang miskin. Oleh karenanya kelebihan seseorang dengan orang yang lain itu tidaklah harus disalah gunakan sebab didalam perbedaan itu terdapat amanah yang harus dipertanggung jawabkan kepada yang memberi yakni Allah SWT. Begitu juga seorang Raja atau Presiden ia sudah pasti berbeda dengan rakyatnya. Semua itu ada, karena karunia dan ketetapan Allah jua.

Jadi firman Allah dan sabda Nabi Saw, mengenai tidak ada perbedaan antara orang Arab dan non Arab (Ajam), atau yang berkulit merah atau hitam. Dihadapan Allah kemuliaan itu diukur dengan parameter ketaqwaan kepada Allah. Ini artinya memang ada perbedaan antara manusia yang satu dengan yang lain, dan itu pemberian dari Allah juga. Namun tidak ada perbedaan didalam fungsi kehambaan mereka kepada Allah.

Contoh lain; Orang kaya, orang miskin, orang Eropa, Amerika, Asia, Afrika. Atau pejabat tinggi atau rendahan, Raja, Presiden atau rakyat biasa, Habaib, atau Sayyid, orang Indonesia atau orang Cina semuanya mempunyai kewajiban yang sama kepada Allah SWT. Tetapi mengenai urusan kehidupan dunia, adalah urusan masing-masing orang. Maksudnya tidak ada halangan seorang Raja atau Presiden misalnya hendak mengawinkan anaknya dengan anak seorang tukang kebun sekalipun, itu tergantung kerelaan semua pihak.

Begitu pula apabila Saudara Muhammad H Ass. hendak menikahkan puterinya seorang syarifah dengan kerelaannya sendiri kepada seorang Ajam atau seorang Majusi sekalipun misalnya, itu adalah haknya. Tetapi adalah merupakan sebuah kesalahan yang sangat besar apabila tuan M.H. Ass. lalu memproklamirkan semua syarifah boleh berbuat seperti itu. Ingat Syarifah yang lain adalah anak orang lain, dia dan orang tuanya mempunyai hak sendiri, terserah mereka, tuan tidak perlu mencampuri. Lebih celaka, lebih salah lagi bila tuan M.H.Ass. menggunakan alasan Agama, atau alasan Bani Hasyim, Dzurriyat Rasulullah Saw. jangan sekali-kali tuan memasuki wilayah orang lain yang sama sekali bukan hak anda. Soal hukum Agama semua orang tahu, kita patut memberi nasihat tetapi kita tidak berwewenang untuk memaksakan kehendak kita kepada orang lain.

Kalau tuan M.H.Ass. merasa bahwa menyandang gelar Sayyid itu tidaklah penting, dan bahkan hal itu hanyalah sebuah kesombongan belaka, maka sebenarnya yang paling bijak adalah, anda pertimbangkan sendiri haruskah gelar sayyid itu anda tanggalkan? Karena ia tidak penting bagi diri anda?, buktikanlah. Dari pada anda harus menulis buku yang anda sendiri menjadi tidak tenang dibuatnya? karena anda sendiri sebenarnya tidak mengerti apa yang anda bicarakan (tulis itu). Sebenarnya anda cukup secara diam-diam tidak perlu mengikuti aturan yang menurut anda bahwa itu hanyalah sebuah tradisi saja. Dengan begitu andapun bebas menentukan sikap anda dan keluarga anda sendiri bukan? Itu lebih aman bagi diri anda.Apa manfaatnya anda menulis buku yang nyata-nyata mendiskreditkan leluhur anda sendiri, kemudian anda sebar luaskan, lalu untuk sementara anda tersenyum, mendapat banyak uang, sambil melihat fitnah itu beredar ditengah-tengah masyarakat, tetapi tanpa anda sadari justru hal itu merusak citra diri dan keluarga anda sendiri.

Betapa tidak, begitu anda berbuat kekeliruan atau salah mengimplementasikan salah satu ayat saja, padahal itu telah tersebar luas dalam bentuk buku anda, cobalah anda bayangkan mana yang lebih banyak antara anda mereguk keuntungan secara materi dan jumlah dosa-dosa yang diakibatkan olehnya. Bayangkanlah kini bagaimana anda harus bertanggung jawab. Jadi janganlah sekali-kali anda memasuki wilayah bahasan yang anda sendiri tidak mengenalinya dengan baik.

Mengenai sabda Rasulullah Saw, dan ucapan Imam Ali k.w. yang anda kemukakan pada Alinea 1, dalam halaman 19 & 20, anda berkata seperti itu karena anda tidak mempunyai literatur yang cukup. Perhatikan tulisan kami pada halaman sebelum ini, yang diberi judul “Pebukaan”. Apabila masih kurang coba anda periksa dalil-dalil yang anda perlukan itu pada buku (yang tertulis pada halaman pembukaan No.11) dan buku “Keutamaan Keluarga Rasulullah Saw” oleh K.H.Abdullah bin Nuh sekalipun nanti anda tidak menerimanya, itu urusan anda.

Adapun isyarat dari Imam Ali k.w. silahkan periksa Buku Mutiara Nahjul Balaghah, Penerbit Mizan, M Al-Baqir halaman 77, anda akan menjumpai ungkapan kemulian keturunan oleh Imam Ali k.w, ketika ia berkata; “tanpa menyombongkan diri” tetapi gambaran bahwa Mu’awiyah dan keturunannya berbeda dengan keturunan Nabi Saw.- bacalah sendiri.

Pada bagian lain dari Bab 1 ini, adalah sekedar ilustrasi sejarah sudah terdapat dalam banyak buku sejarah yang jauh lebih lengkap, serta dari sumber yang lebih baik dan lebih populer.

Pada Bab 2, halaman 32, setelah mengutip beberapa ayat Al-Qur’an mengenai hukum perkawinan dalam Islam yang nyata-nyata berbicara mengenai kesepadanan atau kesetaraan secara umum yaitu antara lain : Orang kafir dengan orang kafir, tidak patut dengan orang beriman. Laki-laki berzina tidak setara melainkan dengan perempuan berzina. Atau perempuan yang musyrik begitu sebaliknya.

Saudara M.H.Ass. mengatakan ayat-ayat yang dikutip disitu sebagai ketetapan bahwa masalah kafa’ah sama sekali tidak berhubungan dengan nasab. Ya sudah jelas!, karena ayat-ayat itu memang tidak berbicara mengenai perkawinan nasab. Tetapi bukan berarti tidak ada. Ayat yang dikutip itu secara khusus hanya berbicara mengenai hukum perkawinan dilingkungan pezina, kafir dan musyrik.

Lain lagi halnya, ketika Nabi Saw melamar Zainab binti Yahsy untuk anak angkatnya Zaid bin Harits, dan pinangan itu ditolak, maka turunlah ayat itu, yang menyatakan bahwa orang Mukmin hendaknya menerima apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Jadi ayat ini memang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kafa’ah. Saya benar-benar tidak mengerti bahasan ini maksud penulisnya apa?.

Kafa’ah dalam perkawinan dilingkungan keluarga Alawiyyin memang harus dijaga ketat dan dipelihara karena siapakah yang akan menjaga dan melestarikan kelangsungan dzurriyat – keturunan Nabi suci Muhammad Saw? Kalau anda ingin tahu bacalah buku Keutamaan Keluarga Rasulullah Saw. oleh K.H. Abdullah bin Nuh khususnya halaman 36-42.(pasti anda punya)

Sesungguhnya setiap orang mempunyai hak kafa’ah, terserah kepadanya apakah ia akan mempergunakannya atau tidak. Pada umumnya orang Tionghoa (Cina) misalnya, dalam masalah perkawinan, mereka sangat ketat menjaga garis keturunan mereka dengan baik, dan itu adalah hak asasi mereka. Keturunan Raja-raja di Jawa juga sangat ketat pula menjaga silsilah keturunannya, terutama didalam hal perkawinan, mereka memang juga berhak untuk itu. Keturunan bangsawan di Sulawesi, di Sumatera, di Malaysia, sampai pada Raja-raja di Benua Eropa, Lord di Inggris, dan Baron di Prerancis semuanya sangat hati-hati dalam urusan perkawinan, dan itu adalah hak mereka

Dan bahwa masalah sebenarnya tergantung kepada kesediaan dan kerelaan pada pihak yang dipinang (dilamar) mau menerimanya atau tidak. Tetapi pada umumnya yang dijaga ketat adalah pada pihak puteri (wanitanya), sebab apabila kaum puterinya menikah keluar (bukan kufu) niscaya anak-anaknya nanti telah terputus hubungan nasabnya dengan nasab keluarga ibunya, karena anak-anak itu akan bernasab menurut garis keturunan ayahnya.

Didalam Islam, orang yang hendak menikah (kawin) itu dapat memilih dari 4 (empat) kriteria utama :

1. Keimanannya (Agama)
2. Keturunannya (Nasabnya)
3. Kekayaannya
4. Kecantikannya

Pada umumnya kalangan Alawiyyin ( Ba’alawi) mengutamakan Nasab. Sebab dengan Nasab ahlul bait itu telah dipastikan Agamanya. Sementara urusan Kekayaan maupun kecantikan bukanlah yang primer (utama). Itulah sebabnya pula, maka calon penganten pria diteliti dengan benar dan cermat silsilah mereka.

Artinya silsilah itu harus dapat dijamin kebenaran dan keabsahannya. Yang demikian itu adalah hak mereka, dan dipergunakan dengan sebaik-baiknya.

Keunggulan lainnya bahwa nasab ahlul bait yang benar, sudah pasti akan tersusun dan tersambung dengan jelas, serta tetap berada pada jalur Agama Islam. Oleh karena itu kafa’ah dalam keluarga Ba’alawi dipastikan silsilah Agamanya tidak kabur, bahkan terang benderang.

Namun begitu dari keturunan Ba’alawi itu, banyak pula diantara mereka yang dengan suka rela melepaskan hak dirinya dalam urusan perkawinan sebagaimana mestinya. Yakni banyak keluarga Ba’alwi yang menikahkan anak puterinya dengan pria yang bukan sayyid, itu adalah hak dan tanggung jawab mereka masing-masing.

Masalah lain yang diangkat didalam Bab ini, oleh M.H.Ass. adalah kafa’ah menurut para Imam Madzhab. Sebenarnya semua orangpun sudah memahami soal itu. Kita sepatutnya menghormati mereka, karena ketentuan-ketentuan yang mereka tetapkan itu sudah menjadi kesepakatan ummat Islam. Didalam kalangan Alawiyyin mereka lebih faham lagi, serta mengambil dan mengikuti yang paling sesuai dan dekat dengan Madzhab dan tariqah mereka sendiri yakni Madzhab Ahlul Bait.

Meskipun begitu, mereka kalangan Ba’alawi lebih banyak bersikap bijaksana dengan menyerahkan keputusan dalam masalah perkawinan itu kepada setiap person (hak individu) untuk memutuskan sendiri. Apabila kemudian perkawinan itu tidak terjadi sebagaimana mestinya, maka mereka tidak harus disalahkan, apabila enggan menghadiri upacara akad nikahnya. Alasannya sederhana saja yaitu tidak mau menjadi saksi pada upacara akad nikah yang berlangsung antara seorang syarifah dengan pria bukan sayyid. Hak mereka seperti itu haruslah dihargai pula.

Seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa masalah kafa’ah ada dimana-mana karena ia adalah hak semua orang. Tetapi kalau kemudian masalah syarifah yang menjadi sorotan, bahkan yang paling banyak mendapat kritikan tajam serta cenderung tidak masuk di akal, maka hal seperti itu harus pula dicari jawabannya. Ternyata menyoroti syarifah identik dengan menyoroti nasab serta dzurriyat Rasulullah Saw.

Mengapa demikian, ternyata disana tersimpan kemuliaannya tersendiri, dan pada diri syarifah itulah lambang kemuliaan itu.

Hal ini hampir-hampir sulit dipahami, sehingga banyak kaum sayyid yang awam tidak mengerti kemuliaan miliknya ini, dan karena itulah ia kawini wanita diluar kalangannya sendiri. Salah satu kemuliaan yang tidak dapat ditukar dengan apapun juga ialah predikat aal Muhammad. Bayangkan anda di do’akan oleh seluruh kaum Muslimin dan Muslimat sejagad raya paling sedikit didalam shalat mereka lima kali sehari semalam.

Keistimewaan ini tidak diberikan Allah kepada selain dzurriyat Rasul saw. Tetapi manakala sang syarifah itu dilepas dan menikah dengan pria bukan sayyid, maka setiap anak yang dilahirkannya menjadi terputus hubungan nasab dan keturunannya dari jalur ibunya karena anak itu mengikuti nasab ayahnya yang bukan sayyid itu. Sekalipun anda berhujjah dengan dalil dan alasan apapun niscaya anda, bahkan sekalian manusia tidak akan mampu merubah apalagi mengungguli ketetapan Allah dan Rasul-Nya.

Pada halaman 57, analisis dan tinjuan pendapat Madzha-Madzhab. Sesungguhnya perbedaan pendapat diantara mereka itu bukanlah hal yang mengganggu. Karena ketetapan yang mereka buat telah diakui dan diterima oleh seluruh ummat Islam di dunia. Disamping itu kredibilitas, keikhlasan, serta keluasan ilmu mereka menjadikan kita patut berterima kasih kepada mereka, celakalah orang yang belajar dari ilmu mereka kemudian mencela mereka.

Pernyataan sudara M.H.Ass. mengenai Imam Khomeini yang menikahkan puteri-puterinya dengan pria bukan sayyid itu adalah haknya. Boleh diikuti siapa yang bersedia mengikuti, sebaliknya silahkan ditinggalkan siapa yang tidak hendak mengikutinya. Soal ijab qabul dengan segala tata caranya juga terserah kepada bersangkutan, yang terpenting dapat dibenarkan secara syari’at Islam. Barang siapa yang melanggar syari’at Islam, dia pula yang bertanggung jawab kepada Allah dan Rasul-Nya, bukankah begitu?.

Dalam kalangan Ba’alawi pada umumnya melakukan tata cara aqad nikah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw ketika menikahkan Fathimah binti Muhammad dengan Ali bin Abi Thalib. Pada halaman 59, Lagi-lagi saudara M.H. Ass. membuat pernyataan aneh.

Bahwa penganut kafa’ah dalam nasab tidak mempunyai nash Al-Qur’an dan Hadits atau dalil ilmiah, melainkan kelaziman diseluruh tempat dan zaman.

Akan sanggupkah anda mempertanggung jawabkan statemen anda diatas tadi kepada Allah dan Rasul-Nya?. Pernyataan anda ini serta merta menunjukkan ketidak mampuan dan kekuranganmu belaka. Kalau hendak tulis buku apalagi dengan topik yang sensitif begini, anda harus punya persiapan yang matang lebih dahulu. Jangan sampai membentur tembok-tembok hukum syari’at, tidaklah perlu berbuat sesuatu yang bersifat sensasional. Hendaknya anda mempunyai referensi yang lengkap, jangan hanya baca buku-buku berkualitas rendahan, dan dari sumber-sumber yang kabur. Dua referensi buku yang sudah kami sebutkan sebelumnya akan sangat membantu anda. Satu hal yang harus anda ingat, janganlah menyoroti masalah yang sensitif dan rawan kalau ilmu anda sangat terbatas. Sebab diatas langit ada langit yang lain. Sebenarnya buku “AHLUL BAIT DAN KAFA’AH” TULISAN S. UMAR MUHDOR SYAHAB sangat bermanfaat bagi anda, sajiannya cukup ilmiah, dan sungguh anda tidak akan dapat mengunggulinya. Hanya saja anda terburu-buru memusuhinya, bahkan anda tanggapi secara tidak bijak. Seharusnya anda belajar memahami dan menjabarkannya dengan baik sebagai seorang ilmuan sejati. Anda tergoda menghujatnya karena adanya kata haram, dan kata fasakh atas subuah pernikahan . Anda belum bisa membedakan pengertian sebuah hukum yang absolut (mutlak) dengan pendapat-pendapat hukum. Andaikan saja anda sedikit luwes, tentunya anda tidak akan malu bukan? Ataukah anda dihasuti orang lain yang dasarnya memang membenci kaum Alawiyyin?.

Bila demikian kami tidak heran, hal seperti itu sudah berlangsung berabad-abad lamanya. Segala kebaikan dan kemuliaan yang datang dari Allah dan Rasul-Nya akan tetap kekal abadi. Sebaliknya segala jenis kejahatan manusia siapa saja, baik lisan atau tulisan ia akan menjadikan penulis atau pembicaranya terperosok dalam sebuah kehinaan, kehancuran, kenistaan yang membinasakan dalam kurun waktu sesuai dengan ketentuan Allah SWT, apakah seseorang itu akan disiksa didunia atau kelak diakhirat. Wallahu ‘alam.

Pada halaman 65, Kafa’ah pada masa kini, memuat pendapat Buya Hamka, dan memaknai hadits Nabi Saw sampai kepada soal wanita yang berhak atas dirinya sendiri baik janda atau perawan.

Sebenarnya ini bukan barang baru, semuanya telah ada kaidah-kaidah agama dan hukum syari’at-nya. Tinggal bagimana atau apa kasusnya, karena penyelesaiannya sesuai dengan kuwalitas masing-masing kasus yang bermacam ragamnya itu.

Pandangan-pandangan seperti itu sama sekali tidak bermaksud merubah masalah kafa’ah dilingkungan kaum syaraif itu. Pandangan-pandangan Buya Hamka tidak mengandung makna seperti yang anda maksudkan. Dalam buku-buku tertentu yang menyangkut ahlul bait, dimana beliau tampil memberi kata pengantarnya setahu kami beliau (Hamka) tidak pernah berbicara seperti yang anda katakan. Buya Hamka adalah salah satu tokoh ‘Ulama dan Ilmuan Islam yang punya nama baik dan dihormati di Indonesia.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...